Salah Kaprah “Lone Wolf”

Oleh: Alto Luger (Pengamat Konflik dan Terorisme)

 

MEDIAEKSPRES.id – Istilah “Lone Wolf” muncul lagi pascaserangan teror yang dilakukan di Mabes Polri pada tanggal 31 Maret lalu. Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menyatakan tersangka teroris penyerang Mabes Polri merupakan seorang lone wolf atau pelaku tunggal.

Di aksi teror beberapa tahun lalu yang juga dilakukan oleh pelaku tunggal, Kapolri pada saat itu yaitu Jenderal (Pol) Tito Karnavian menyebutnya sebagai aksi “leaderless jihad”.

Saya mencoba melihatnya dari sisi yang berbeda dan dengan argumen bahwa aksi teror dan pelaku teror punya keterkaitan, sehingga menurut saya, tidak tepat seorang pelaku teror disebut sebagai “lone wolf”.

Yang pertama, kita harus melihat teror sebagai taktik yang dipakai oleh kelompok atau organisasi dalam mencapai tujuannya. Bagi kelompok atau organisasi yang memakai agama sebagai motivasinya, alias religiously-motivated terrorism, teror hanyalah satu dari beberapa taktik yang (akan) mereka pakai untuk mencapai tujuannya, yang rata-rata adalah tujuan politik kekuasaan.

Teror sebagai taktik bisa dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain.

Apabila jalan kekerasan yang dipilih untuk dipakai maka tentunya kelompok atau organisasi teror akan membutuhkan terpenuhinya komponen strategi dalam sebuah aksi teror, di antaranya adalah orang, material, dana, akses dan analisis intelijen. Iya, bahkan kelompok teror pun butuh analisis intelijen dalam melaksanakan aksinya.

Nah, dalam melaksanakan sebuah strategi operasi, memakai satu kelompok/tim atau satu orang itu punya keunggulan dan kelemahan masing-masing. Aksi teror yang melibatkan satu tim tentu membutuhkan rencana operasi dan dukungan logistik yang lebih besar, sebaliknya, menggerakan satu orang akan jauh lebih mudah – dalam hal perencanaan, juga lebih murah dan ‘investasinya’ pun lebih sedikit.

Jadi, kalau sebuah kelompok atau organisasi teror menggerakkan satu tim atau sel maka resiko terungkapnya sel tersebut akan lebih tinggi, dan untuk menyiapkan sel sejenis juga butuh waktu yang panjang. Itulah kenapa organisasi teror seperti Jamaah Islamiyah hanya akan menggerakkan sel-sel mereka jika mereka benar-benar yakin bahwa aksi teror yang mereka lakukan benar-benar ‘worth the investment’.

Kalau aksi teror adalah investasi kelompok teror dalam melancarkan aksinya maka memanfaatkan pelaku perseorangan adalah investasi yang murah, walau dengan resiko kegagalan yang lebih tinggi, tapi tetap berkontribusi pada tujuan utama kelompok dimaksud, yaitu memperkuat ideologi, mendapatkan dukungan baik pengaruh maupun dana, dan menunjukkan eksistensinya.

Nah, dalam konteks taktik maka seharusnya kita tidak mengenal atau memakai istilah ‘Lone Wolf’ dalam menyikapi aksi teror yang dilakukan oleh pelaku tunggal karena pelaku tunggal adalah orang yang dipakai dan digerakan, baik secara langsung ataupun tidak langsung, di mana aksinya akan berkontribusi pada tujuan dari kelompok atau organisasi yang dipercayainya, yaitu tujuan ideologis maupun tujuan politis.

Tentunya adalah tugas dari aparat keamanan untuk membuktikan hubungan antara pelaku aksi teror, baik kelompok atau tunggal dengan organisasi teror yang ada di Indonesia atau yang punya pengaruh infiltrasi paham sampai di Indonesia, tapi dalam kasus-kasus pelaku tunggal aksi teror, jelas terlihat bahwa pelaku punya hubungan dengan kelompok teror yang ada di Indonesia.

Jadi, seseorang tidak akan bangun pagi-pagi terus langsung memutuskan untuk akan membunuh orang atau akan mencoba membunuh orang. Ada proses, ada interaksi, ada ideologi yang dipercaya, atau figur yang diyakini mampu merepresentasi kebutuhannya, dan ada perintah aksi yang dipercayai merupakan perintah tertinggi untuk mengorbankan dirinya (ultimate sacrifice) demi mencapai tujuan dari kelompoknya.

Everything is connected. (***)

Comment