ESAI: Isolasi

MEDIAEKSPRES.id – Hidup terdiri dari bermacam-macam kesendirian. Masing-masing kita sesekali punya, (atau ingin punya, atau sebaliknya takut untuk punya), ruang isolasi.

Dalam hikayat dan sejarah, ada orang-orang yang bersunyi diri untuk memperoleh sesuatu yang lebih bernilai dari yang selama ini ada pada dirinya, di sebuah hening yang total. Dikisahkan tentang Panembahan Senapati di abad ke-17 dalam Serat Wedhatama, “lelana lalading sepi/Ngingsep sepuhing supana’: mengembara ke tempat-tempat yang sunyi, untuk merenung dan mendapatkan kearifan tentang hidup. Atau, seperti Airlangga di Kerajaan Kediri di abad ke-12 yang turun tahta dan masuk hutan untuk “menyepi” sampai ia wafat. Isolasinya adalah sejenis penyucian diri dari najis yang selalu menempel kekuasaan.

Agama-agama memuliakan pilihan keheningan seperti itu — dan kita dibawa untuk percaya ada hubungan kesunyian dengan kesucian. Iman dibangun dengan sejumlah aikon meditasi: Gua Hira menjelang Muhammad menjadi Rasul; ladang gurun tempat Yesus berpuasa dan menolak Kerajaan Dunia; pohon Bodhi di Bihar, tempat Siddahrta Gautama bersemadi setelah meninggalkan kehidupan seorang pangeran.

Dalam zaman yang bising kini agaknya Thomas Merton, seorang rahib Trappis, penyair, mistikus, dan filosof, yang masuk kembali ke dalam hidup pertapaan sebagai sesuatu yang jauh tapi sekaligus dekat dengan sekitar. Tulisnya: “Menyendiri,” (saya temukan dalam “A Year with Thomas Merton: Daily Meditations from His Journals”) “bukanlah semata-mata sebuah hubungan negatif.”

Baginya, , menyendiri adalah “berpartisipasi dalam kesendirian Tuhan, yang ada di segala hal.”

Umum diketahui, dalam pertapaan Orde Trappis, para rahib hampir sepenuhnya hidup tanpa percakapan. Mereka hanya menggunakan kata-kata seperlunya, di celah-celah jam-jam panjang berdoa, kemudian jam-jam panjang bekerja, di ladang mereka yang selalu diolah. Dan dalam hal Merton: juga menulis. Salah satu catatan hariannya, 4 Januari 1950, mengungkapkan rasa berbahagia: “Kini aku tahu, aku memasuki hari di mana aku akan dapat hidup tanpa kata-kata.”

Comment