Gempa Itu Nyaris Merenggut Anakku

“Mau luka atau penuh darah — atau tak bernyawa — yang penting saya bisa melihatnya dan memeluknya. Akhir dengan ucapan Bismillahirrahmanirrahim Allahuakbar.”

Ungkapan syukur Irawat Arif setelah memastikan anaknya selamat dari reruntuhan bangunan rumah.

MAMUJU,MEDIAEKSPRES.id– Tawakal  berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi hal yang sulit akibat dari suatu keadaan. Tumpuan terakhir, karena Allah maha berkehendak, maha berkuasa.

Kisah Irawat, salah satu warga Mamuju yang terjebak dalam reruntuhan bangunan rumahnya, saat gempa bumi pada pukul 02.20 Wita, Jumat, 15 Januari 2021.

Dia berbagi pengalaman medebarkan itu kepada Mediaekspres.id.

Beberapa jam sebelumnya, tatkala malam telah berada di puncak masanya, keluarga kecil itu pun berniat istirahat. Irawat dan suaminya, Supardi — beserta kedua putrinya Alya (4) dan Arumi (3) masuk ke kamar tidur. Tentu mereka tak lupa merapalkan doa ke Sang Pencipta.

Tak lama kemudian, kedua bidadarinya pun tertidur. Irawat masih memandang raut wajah menggemaskan anak-anaknya yang sedang terlelap itu.

Saat-saat Menegangkan

Jam pukul 1:45, mata ini mulai ngantuk, Hp mulai lowbet. Akhirnya memilih hp di-cars dan saatnya untuk tidur, suami pun demikian.

Beberapa menit kemudian di saat mata ini sudah mulai terlelap, dengan suara keras, suami berteriak: gempa!

Saat itu saya terbangun sambil mengayunkan 1 kaki dan ingin mengangkat si bungsu. Namun di saat itu pula, saya tak berdaya karena getaran. Akhirnya aku pun terjatuh dengan si bungsu.

Kepanikan yang luar biasa saya rasakan kala lampu mulai padam. Secepat kilat robohan batu menerpa kami.  kurasakan ketakutan — tak berdaya. Saya berusaha kuat walau badan ini sakit dan berat.

Suara Alya (anak pertama) menagis membuatku tenang karena dia baik-baik saja. Namun si bungsu belum terdengar suaranya sama sekali. Aku panik. Rasa takut kehilangan mulai menerpa. Kuraba sekelilingku namun hanya telapak kakinya yang kurasakan.

Kucari badan dan kepalanya tapi semua yang kupegang hanya reruntuhan tembok rumah. Dengan bercucuran darah turun ke muka dan dengan badan tak berdaya lemas karena hantaman tembok, di situlah saya mulai berteriak “tolong anakku kasian, tertimbun i, tolong kasian e. Ayah tolong anakmu!”

Ayahnya tak mampu menolong karena dia juga tidak bisa bergerak akibat masih banyak batu menindih badannya.

Tak ada yang bisa menolongku malam itu. semua sibuk menyelamtkan dirinya masing-masing. Kukuatkan diri sembari berdoa dan menangis.

“Ya Allah, tolonglah kami, karena hanya Engkau sebaik-baiknya maha penolong!”

Akhirnya kutarik kaki  si kecilku tanpa menghiraukan luka atau darah yang mengucur – atau mungkin saja anakku sudah tak bernyawa. Yang terpenting saat itu, saya bisa melihat dan memeluknya.

Akhirnya dengan ucapan bismillahhh allahuakbar, saya mengangkat tubuh anakku. Yang paling mengherankan, rasa sakit yang tadi kurasakan tiba-tiba hilang dan onggokan batu yang begtu berat menindih tubuhku, seketika menjadi ringan.

Akhirnya si bungsu pun keluar dari reruntuhan tanpa luka dan tidak berdarah sama sekali. Dia tak menangis sedikitpun. Kondisi itu justru membuatku khawatir.

Keadaan gelap yang menghalangi pengelihatan membuat saya berpikir anakku itu sudah meninggal.

Saya pun berlari ke luar sambil membopong anak bungsuku. Karena pantulan cahaya hp dari tetangga, saya melihat mukanya pnuh dengan pasir semen. Kubersihkan pasir itu.

“Opu banyk darah di mukata’,” suara anakku, parau.

Seketika tangiskupun menjdi bentuk rasa syukur kepada Tuhan. Sang Pemilik Dunia masih memberi kami kesemptan untuk bisa tersenyum sampai hari ini.

Suamiku juga selamat berkat pertolongan dari Allah melalui tetangga kami.

(***)

Comment