Rintihan Anak Petani Sawit

MAMUJU, MEDIAEKSPRES.id – Asgar namanya, lahir dan besar di Desa Leling, Kecamatan Tommo, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar). Asgar dibesarkan di keluarga petani. Saat ini orang tuanya mengelola lahan sawit 1 hektar lebih.

Sebagai anak petani sawit, Asgar kini tidak seceriah dulu. Muka suram mulai terlihat sejak harga sawit berangsur turun dan puncaknya tadi malam, sekitar pukul 00.26 Wita. Ia melampiaskan gejolak hatinya.

Beberapa menit setelah pergantian malam hari, Minggu ke Senin, 25 Juli 2022. Anak muda ini mengutarakan keinginannya untuk mendatangi sebuah lembaga pemerintah yang mengurus soal Hak Guna Usaha (HGU).

“Bro dimana itu kantornya Dinas Tata Ruang Kabupaten Mamuju,” tanya Asgar kepada Penulis.

Karena penasaran, Penulis mencoba menggali maksud dan tujuan Asgar. Ia pun menyampaikan tujuannya, bemaksud mempertanyakan peta HGU salah satu perusahaan sawit yang beroperasi di Sulbar.

“Rencana mauka tanya-tanya soal kejelasan peta Hak Guna Usaha (HGU) PT. MUL,” kata Asgar, yang tak lain juga merupakan salah satu mahasiswa di salah satu perguruan tinggi ternama di Mamuju.

Diketahui, PT. Manakarra Unggul Lestari atau PT. MUL adalah perusahaan yang mengelola perkebunan kelapa sawit skala besar di wilayah Kecamatan Tommo, Kabupaten Mamuju.

Pada sebuah rilis di media online, wilayah Desa Leling, Kecamatan Tommo, dijadikan daerah pengemban lahan perkebunan kelapa sawit sejak dibawah kepemimpinan H. Suhardi Duka selaku Bupati Mamuju.

Untuk tahap awal luas perkebunan kelapa sawit di Desa Leling, Kecamatan Tommo sudah ditarget sekitar 200 hektare.

Tanggal 6 Januari 2009, Panitia khusus (Pansus) DPRD Kabupaten Mamuju pernah merekomendasikan untuk menghentikan aktivitas PT. MUL karena dianggap telah melakukan penyerobotan lahan milik petani di Desa Leling, sekitar 6.000 hektare.

Dasar tudingan yang diarahkan kepada PT. MUL, karena tidak jelasnya batas wilayah konsesi perkebunan yang seharusnya digambarkan secara detail dalam peta HGU.

Meskipun begitu, kehadiran PT. MUL diklaim telah membantu meringankan beban pemerintah dalam upaya menanggulangi jumlah pengangguran maupun upaya menekan angka kemiskinan.

Kala itu, PT. MUL sudah menyerap tenaga kerja sebanyak 1.920 orang. Menurut Direktur Pengembangan, H Sucipto, sejak perusahaan PT. MUL mengembangkan perkebunan kelapa sawit, ada 364 orang staf perusahaan dan non staf yang sudah direkrut untuk bekerja. Sedangkan jumlah tenaga harian maupun borongan, ada sekitar 1.524 orang.

***

Di tengah keheningan, di sebuah ruang petak bangunan, terletak pinggiran ibu kota Provinsi Sulbar. Asgar terlihat sesekali merenung dengan gadget di tangan kanannya. Di kamar kecil itu, ia kembali membuka diskusi ringan, terkait harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit yang sedang mengalami penurunan signifikan.

“Kalau turun harga TBS jelas melarat lagi, tapi kalau naik harga TBS sejahtera ki lagi,” ucap Asgar.

Asgar menjelaskan, pada saat panen pertama, terkadang orang tuanya memperoleh sampai 5 ton. Panen kedua biasanya dibawa 5 ton bahkan pernah hanya 1 ton.

“Kalau kelapa sawit itu normalnya dua kali ji panen dalam sebulan,” jelasnya.

Artinya, apila harga TBS Rp 1.000 perkilogram. Pendapatan keluarga Asgar bisa sampai 5 Juta dalam satu kali panen.

Namun angka 5 Juta tersebut belum keluar biaya pemiliharaan. Seperti biaya upah buruh, angkutan, pupuk dan lain-lain.

“Di balik panen banyak juga pengeluaran seperti upah buruh, mulai yang kerja memanen, yang mengantar pakai motor ke jalan poros, sampai sewa mobil untuk dibawa ke tempat jualnya. Semua itu masing-masing punya biaya sendiri,” jelas Anak pertama dari lima bersodara ini.

Semenjak perkebunan mulai meluas. Asgar merasakan betul dampak dari perubahan ekonomi masyarakat. Namun disisi lain ia juga merasakan adanya perubahan iklim.

Sebelum mata pencaharian masyarakat beralih ke perkebunan kelapa sawit. Masyarakat dulunya bertani kopi, coklat dan durian. Kondisi ini udara dirasakan sejuk dan berbeda dengan kondisi sekarang.

Dari data BPS Mamuju, perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Mamuju mencapai 5.724 hektare di tahun 2018. Kepala Dinas Perkebunan Sulbar, Abdul Waris Bestari, juga pernah mengemukakan, luas areal komoditi perkebunan kelapa sawit di Sulbar pada 2019, sebanyak 152.475  hektar, yang mencakup Mamuju Tengah, Pasangkayu dan Mamuju.

Setiap tahun ekspansi perkebunan kelapa sawit mengalami peningkatan signifikan. Tak sedikit kawasan hutan jadi korban alih fungsi. Kini hutan yang tadinya jadi tempat kelangsungan hidup berbagai flora dan fauna dan penghasil oksigen justru beralih ke perluasan industri perkebunan kelapa sawit dengan dalih pembangunan ekonomi daerah.

Alih Fungsi Kawasan Hutan ini, terkhusus lahan gambut akan menyebabkan degradasi lahan atau kerusakan lahan. Dimana akan mengalami penurunan produktivitas. Apalagi kalau setiap pembukaan lahan untuk kelapa sawit dilakukan dengan cara membakar.

Meskipun dengan alasan lebih praktis, tentu akan selalu memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sehingga menyebabkan peningkatan emisi karbon yang berakibat meningkatnya intensitas efek gas rumah kaca pada atmosfer. Hal ini membuat panas matahari terperangkap di bumi sehingga kondisi mengalami pemanasan secara global. Jika hal ini terjadi secara terus menerus, tentu akan menyebabkan climate change.

Peneliti lingkungan dari Universitas Riau, Ariful Amri Msc, pernah meneliti kerusakan tanah karena perkebunan kelapa sawit. Penelitian itu menyimpulkan bahwa, dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter unsur hara dan air dalam tanah. Artinya jika ada ratusan juta batang pohon sawit, berapa kira-kira besaran daya serapnya?

***

Tak terasa percakapan berlangsung lama, mata sudah mulai sayup. Jam di gadget menunjukkan pukul 03.30 Wita. Akhirnya kami sepakat untuk mengakhiri sebuah diskusi.

Penulis: Refli Sakti Sanjaya

Comment