Jatam Nasional Desak Pemerintah Pusat Cabut Izin PT. BPC

MAMUJU,- Industri Pertambangan yang memilik daya rusak cukup tinggi menjadi perbincangan hangat dikalangan masyarakat Sulawesi Barat. Khususnya industri Pertambangan batu bara yang dikelola oleh PT. Bonehau Prima Cool (BPC) di desa Temalea, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju.

PT. BPC yang beroperasi sejak tahun 2022 di bidang batu bara itu, mendapat kritikan dari Jaringan Tambang (JATAM) Nasional. Pasalnya PT. BPC menggunakan jalan umum, tentu, menabrak regulasi.

Perusahan skala besar disektor industri sekelas tambang batu bara, energi maupun perkebunan sawit berkewajiban memilik jalan khusus.

“Jadi dia itu tidak boleh menggunakan jalan umum. Karena itu bertentangan dengan undang-undang yang menyangkut soal jalan sarana dan prasarana,” ujar Pengkampanye JATAM Nasional, Alfarhat Kasman saat dikonfirmasi via telepon, Senin, 29 September 2024.

 

Baca Juga : Resiko PT. PBC di Bonehau yang tak Miliki Hauling Raod

 

Dalam pantauan Alfarhat selama dilapangan, ia menduga bahwa, perusahan, pemerintah daerah, dan pihak kepolisian telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pasalnya, pemerintah dan pihak kepolisian yang seharusnya ikut menolak adanya industri pertambangan batu bara yang ada di Bonehau itu, justru menjadi perpanjangan tangan perusahaan untuk mengarahkan warga, agar menerima jalan umum digunakan menjadi jalan akses pertambangan.

“Di dalam undang-undang menjelaskan penggunaan pasilitas umum untuk kepentingan industri, kepentingan pribadi itu tidak bolehkan. Dan kalau dibiarkan hal itu dapat dikenakan sanksi,” ujarnya

Lanjut Alfarhat menjelaskan, dampak yang terjadi ketika jalan umum digunakan untuk akses pertambangan, resiko kecelakaan kerja. Dan itu sudah berapa kali terjadi warga menjadi korban mobil truck pengangkut batu bara.

Selain itu, ia mengatakan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. BPC berlaku sejak tahun 2022 sampai 2032. Dan hingga saat ini, Alfarhat belum melihat upaya PT. BPC untuk membuka jalan sendiri. Kalaupun membuka jalan sendiri lanjutnya, akan menimbulkan masalah baru. Dikarenakan perluasan area pertambangan hingga ke kecamatan Kalumpang.

Ia menjelaskan, ketika itu terjadi maka daya rusak yang timbul cukup besar, seperti pencemaran udara, perampasan sumber air warga, perampasan tanah dan lain sebagainya. Hal seperti itu yang tidak mereka lihat sebagai suatu masalah. Karena keasikan mengeruk sumberdaya alam dengan keuntungan yang melimpah ruah.

 

Baca Juga : Diduga CV. Wahab Tola tak Miliki IOP, APKAN RI Pertanyakan Kinerja Polres Pasangkayu

 

Selain itu, masih Alfarhat menjelaskan, warga akan dijebak dengan sistem uang kontan. Karena kebanyakan warga ketika melepaskan lahan mereka, dengan harga cukup mahal masalahnya akan selesai.

Namun itu tentu justru akan menjadi masalah baru, karena ketergantungan terhadap uang kontan. Dan tentu itu menjadi masalah, karena sebelumnya kebutuhan dan pendapatan warga telah tersedia oleh lahan mereka sendiri yang produktif, namun terjual dengan uang yang instan dari perusahaan.

Alfarhat meminta kepada pemerintah daerah agar segera merumuskan peraturan daerah, terkait pelarangan penggunaan jalan fasilitas umum untuk kepentingan industri di sektor pertambangan dan energi. hal tersebut ia lakukan untuk memproteksi hak-hak masyarakat sipil agar tidak dirampas.

Selain itu, ia mendesak agar pemerintah pusat segera mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. BPC dan sekaligus mengganti rugi segala kerugian yang diterima oleh warga selama PT. BPC itu beroperasi.

Ia juga meminta kepada Aparat Penegak Hukum (APH) yang sudah terlibat dalam mediator penolakan warga dan menyaksikan secara langsung, agar mengetahui bahwa, diduga terjadi tindakan melawan hukum di perusahaan industri pertambangan itu. Karena telah menggunakan pasilitas publik yang ia gunakan untuk kepentingan perusahaan.

Polisi harus fair dan harus bekerja secara profesional, agar dapat menindak perusahaan.

“Kalaupun ada potensi Conflict of interest yang terjadi antara perusahaan, katakanlah pemerintah daerah misalnya. Itu harus ditindaklanjuti secara hukum. Warga bisa melakukan perlawanan tapi direpresif juga dengan oknum kepolisian. Dengan cara apa, yah.. dengan cara seperti tadi melakukan mediasi. Mediasinya seolah-olah bahwa perusahaan ini tidak melakukan kelasalahan,” jelasnya. (*)

 

Penulis : Muhammad Iksan

Comment