Penulis : Genoveva Reniana
(Mahasiswi Stipas St. Sirilus Ruteng
Jurusan, Kateketik Pastoral)
Kenyataan pahit mengenai kemiskinan menjangkiti jutaan orang di seluruh dunia. Di tengah kisruhnya kehidupan modern, kemiskinan seringkali terabaikan. Kita sering kali disibukkan dengan masalah pribadi dan mengejar tujuan serta sasaran, lupa bahwa meskipun ada kemajuan dalam teknologi, banyak orang yang masih hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Keadaan kemiskinan saat ini bukan semata-mata disebabkan oleh kekurangan barang-barang material; sebaliknya, ini adalah tragedi kemanusiaan yang telah merampas masa depan, harapan, dan martabat banyak orang.
Ketika kemiskinan melanda, hal ini bukan hanya masalah pribadi; melainkan akibat kegagalan sistemis yang disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti faktor sosial, politik, ekonomi, dan bencana alam.
Jika dilihat dari faktor ekonomi, pengangguran dan kesenjangan pendapatan menjadi penyebab terjadinya kemiskinan. Kesenjangan pendapatan yang besar antara si kaya dan si miskin. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar masyarakat hidup dalam kemiskinan, hanya sedikit orang yang memiliki sebagian besar kekayaan. Kemudian salah satu penyebab utama kemiskinan adalah, tingginya angka pengangguran, khususnya dikalangan masyarakat miskin.
Ketiga faktor kemiskinan di atas mempunyai dampak positif dan negatif terhadap pendidikan anak dari keluarga miskin. Dampak positifnya, pertama, motivasi yang tinggi. Anak-anak dari keluarga miskin mungkin memiliki motivasi belajar yang tinggi karena menyadari pentingnya pendidikan untuk keluar dari kemiskinan.
Kedua, anak-anak dari keluarga miskin mungkin memiliki ketahanan yang lebih tinggi karena terbiasa menghadapi kesulitan. Sementara dampak negatifnya, anak-anak dari keluarga miskin seringkali kesulitan mengakses pendidikan yang layak, seperti biaya sekolah, seragam, dan buku. Mereka mungkin juga terpaksa putus sekolah untuk membantu menghidupi keluarga secara finansial. Hal ini menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia, rendahnya prestasi akademik dan menghambat kemajuan bangsa.
Dalam mengatasi situasi seperti ini, pemerintah Indonesia memainkan peran penting dalam mengentaskan kemiskinan. Untuk mencapai hal ini, sejumlah inisiatif unik pemerintah telah dilakukan, dimulai dengan pembentukan program bantuan sosial. Hal itu dilakukan untuk membantu masyarakat miskin memenuhi kebutuhan pokoknya, pemerintah menawarkan sejumlah program bantuan sosial, antara lain Kartu Sembako, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Program Keluarga Harapan (PKH).
Program pemberdayaan menempati urutan kedua. Untuk memperkuat kapasitas dan bakat masyarakat miskin, pemerintah juga menjalankan inisiatif pemberdayaan seperti akses kredit, kewirausahaan, dan pelatihan kerja. Peningkatan infrastruktur berada di urutan ketiga. Pembangunan jalan, jembatan, dan sistem irigasi di lokasi terpencil merupakan upaya untuk meningkatkan aksesibilitas dan menciptakan prospek usaha baru.
Pembangunan ekonomi adalah yang keempat. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan lapangan kerja baru, pemerintah bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan. Kelima, mempercepat proses pengentasan kemiskinan ekstrem. Untuk mempercepat pengentasan kemiskinan parah di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden nomor 4 tahun 2022, dengan target penyelesaiannya pada tahun 2024.
Selain peran pemerintah, ajaran gereja juga memiliki peran penting dalam memerangi kemiskinan. Konsili Vatikan II menekankan tugas gereja untuk merawat, membantu, dan berdiri bersama orang miskin, mencerminkan kehidupan Kristus. Dalam ajaran “lumen gentium” dan “gaudium et spes,” gereja diajak untuk melayani orang miskin dan berdiri dalam solidaritas dengan mereka, sebagai wujud kasih dan pelayanan. Ajaran Sosial Gereja (ASG) terus berkembang untuk merespons masalah kemiskinan melalui ensiklik dan surat apostolik yang mengajak refleksi atas situasi sosial konkret.
Ensiklik Rerum Novarum (1891) menandai awal ASG dalam isu keadilan sosial, memperjuangkan martabat pekerja serta hak milik, kerja sama antar kelas sosial, dan hak berserikat. Ensiklik ini mendorong pergeseran fokus dari amal ke respons struktural atas kemiskinan pekerja. Selanjutnya, Quadragesimo Anno (1931) memperkenalkan prinsip solidaritas dan subsidiaritas dalam mengatasi ketimpangan.
Prinsip subsidiaritas mengatur lembaga-lembaga yang lebih tinggi untuk mendukung lembaga yang lebih rendah dalam menjalankan fungsinya tanpa mengintervensi secara berlebihan.
Dalam Mater et Magistra (1961), Paus Yohanes XXIII menyerukan solidaritas antarbangsa. Pacem in Terris (1962) menekankan pentingnya perdamaian yang hanya dapat tercapai dengan keadilan dan penghapusan kemiskinan. Paus Paulus VI dalam Populorum Progressio (1967) dan Octogesima Adveniens (1971) menyoroti pentingnya pembangunan yang adil dan kritik terhadap konsumerisme yang mengakibatkan kemiskinan.
Paus Yohanes Paulus II memperkuat ASG melalui ensiklik Laborem Exercens (1981) yang membahas hak kerja sebagai hak asasi dan pentingnya perlindungan pekerja. Solidaritas internasional diperkuat dalam Sollicitudo Rei Socialis (1987), yang menekankan reformasi proses yang tidak adil serta keharusan gereja membela mereka yang kurang mampu. Ensiklik Centesimus Annus (1991) juga menekankan peran gereja dalam memastikan ekonomi pasar tidak mengabaikan masyarakat miskin.
Ensiklik ini memberi penekanan kuat pada perlunya solidaritas internasional dan reformasi lembaga dan proses yang tidak adil. Paus Yohanes Paulus II menyoroti dalam dokumen ini bahwa Gereja memiliki tugas untuk membela orang-orang yang kurang mampu. Kebutuhan itu harus mendapat dukungan dari Gereja.
Sementara itu, Paus Yohanes Paulus II menegaskan kembali gagasan untuk memberikan perhatian khusus kepada orang miskin dalam Ensiklik Centesimus Annus (1991), meskipun dengan beberapa cara yang unik. evaluasi yang umumnya menguntungkan dari ekonomi internasional liberal, ekonomi sistem pasar, dan ekonomi persaingan bebas, antara lain. Paus Yohanes Paulus II, bagaimanapun, tetap menekankan bahwa pemerintah harus terus mengatur ekonomi pasar untuk mencegahnya mengorbankan orang-orang yang kurang mampu dan orang-orang kecil (Paulus II, 1991: 853).
Selain itu, sejumlah Injil Perjanjian Baru membahas kemiskinan, diantaranya yaitu Injil Matius 19:21, Lukas 14:13–14, Markus 12:41– 44, Lukas 6:20, Kisah Para Rasul 2:44–45, dan Yakobus 2:15–17. Matius 19:21 mendorong kita untuk membagikan harta kita kepada mereka yang membutuhkan. Injil mengajak kita untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat miskin, khususnya mereka yang terkena dampak bencana, dan Alkitab mendesak kita untuk membantu para korban bencana baik secara materi maupun moral.
Injil Lukas 14:13–14 menasihati kita untuk menyambut orang miskin ke dalam hidup kita dan memberikan belas kasihan kepada mereka; Markus 12:41–44 menunjukkan bahwa Allah menghargai semua pemberian, bahkan pemberian dari orang miskin, karena pemberian itu diberikan dengan tulus; dan Lukas 6:20 menyoroti bahwa orang miskin mempunyai tempat khusus dalam kerajaan Allah. Kisah Para Rasul 2:44–45 menggambarkan praktik komunitas Kristen mula-mula dalam membagi harta kepada orang yang membutuhkan, sementara Yakobus 2:15–17 menyoroti perlunya orang Kristen untuk mengasihi orang miskin dengan tindakan dan bukan sekadar kata-kata.
Beberapa ayat Injil mengingatkan kita untuk peduli terhadap kaum miskin. Ayat-ayat ini menggugah kewajiban untuk membela keadilan sosial dan mendukung mereka yang membutuhkan. Ajaran ini juga menginspirasi kita untuk menciptakan komunitas yang suportif serta memiliki kasih sayang untuk sesama, karena mengatasi kemiskinan bukan hanya masalah sosial, tetapi juga tanggung jawab spiritual dan ajaran Gereja menempatkan orang miskin dalam posisi istimewa, mendorong umat untuk berbagi, peduli, dan bersolidaritas terhadap mereka yang menderita.
Pendekatan yang bersifat kemanusiaan dan berkeadilan sosial, seperti yang disuarakan dalam Ajaran Sosial Gereja, menjadi landasan penting dalam menciptakan perubahan bagi masyarakat miskin agar mereka dapat hidup dengan martabat dan harapan yang lebih baik. (*)
Comment