MAMUJU, MEDIAEKSPRES.id – Wacana pemilihan kepala desa (pilkades) serentak untuk 48 desa di Kabupaten Mamuju, telah bergulir sejak pertengahan tahun 2020. Pelaksanaannya memang dirancang pada Februari 2021.
Namun, sejumlah permasalahan menghantui agenda tersebut. Situasi Covid-19 yang bukan hanya mengancam nyawa masyarakat, namun juga menguras kas daerah. Belum lagi, Kabupaten Mamuju diperhadapkan pada pesta demokrasi pemilihan bupati, Desember 2020.
Baca juga:
Anggaran Pilkades Serentak Mamuju hanya Rp 200 Juta, PMD Galau
Atas dasar tersebut, pilkades serentak di bulan Februari 2021 dianggap mustahil dilakukan.
Tanggal 18 Desember 2020, Komisi 1 DPRD Mamuju akhirnya melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan sejumlah OPD guna membahas jadwal pelaksanaan pilkades serentak. Saat itu, semua peserta rapat menyepakati agar pilkades diundur hingga Juni 2021.
Lima hari setelah rapat tersebut, drama pun dimulai.
Lahir Surat Keputusan (SK) Bupati Mamuju No. 188-45/596/KPTS/XII/2020 tertanggal 23 Desember 2020.
Surat itu berisi perintah kepada Dinas PMD untuk melaksanakan pilkades serentak di bulan Februari tahun 2021.
SK dari bupati ini membuat DPRD gusar. Kesepakatan yang lahir di rapat 18 Desember seakan tak pernah ada.
Mereka pun kembali memanggil seluruh OPD terkait untuk mengklarifikasi alasan SK Bupati Mamuju tersebut.
RDP digelar tanggal 12 Januari 2021. Selain Dinas PMD, seluruh instansi yang berhubungan dengan pelaksanaan pilkades, hadir di gedung DPRD Mamuju.
Pada rapat itulah terkuak fakta baru. SK Bupati Mamuju tertanggal 23 Desember 2020 disinyalir tidak sesuai prosedur. Pasalnya, secara regulasi, SK tersebut tidak melalui asistensi di Bagian Hukum.
“SK-nya hanya dibubuhi tandatangan bupati, jadi ada beberapa tahap tidak dilalui, termasuk asistensi di Bagian Hukum,” ungkap Kasubag Perundangan Bagian Hukum Setda Mamuju, Sophiana.
Sorotan terhadap munculnya SK bupati itu juga dilayangkan Asisten 1, H. Tonga. Menurutnya, Dinas PMD sangat lemah dalam mengkoordinasikan SK tersebut.
“Dinas PMD memang tidak pernah berkoordinasi soal SK ini, saya tahunya juga dari camat. Dan karena memang pilkades sangat tidak memungkinkan di Februari (2021), saya tetap sepakat dengan jadwal bulan Juni,” tegasnya.
Keganjalan pelaksanaan pilkades pada bulan Februari, tidak hanya terbentur pada masalah regulasi. Anggaran untuk membiayai pesta demokrasi tingkat desa itu pun menjadi batu sandungan.
Pemda Mamuju melalui Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) memang telah menganggarkan biaya sebesar Rp 715.600.000 untuk membiayai pilkades. Namun, berdasarkan penuturan Kepala Bidang Anggaran BPKAD, Suarti Arif, anggaran tersebut belum bisa dicairkan di bulan Januari hingga Februari 2021.
Alasannya, Kementerian Dalam Negeri mewajibkan pemda untuk melakukan pencairan lewat aplikasi SIPB. Dalam SIPB ini, proses hingga sampai tahap pencairan sangat panjang. Sementara saat ini, seluruh OPD masih berkutat di penyusunan anggaran kas.
Dari penjelasan Suarti Arif, jelas bahwa pilkades yang diasumsikan pada Februari 2021 oleh SK Bupati Mamuju tak akan bisa dibiayai oleh daerah.
Kondisi keuangan daerah ini tampaknya cukup dipahami Dinas PMD. “Tak ada rotan, akar pun jadi”.
Kepala Desa Bambu, Kecamatan Mamuju, Syamsul Syahri blak-blakan menyebut biaya pilkades dibebankan kepada masing-masing desa. Jumlahnya bervariasi antara Rp 15 juta hingga Rp 20 juta setiap desa.
“Desa yang akan pilkades harus menganggarkan di APB-Des. Jika tidak, Dinas PMD menolak mengasistensi DPA desa,” terang Syamsul dalam forum rapat.
Kepala Inspektorat Mamuju, M. Yani yang juga hadir dalam rapat tersebut, mewanti-wanti para kepala desa tidak menggunakan APB-Des untuk membiayai pilkades.
“Sesuai Perda pasal 68, pilkades ini dibiayai oleh APBD. Dan anggaran APBD jika sudah diserahkan ke desa, harus didasari dengan adanya Perbup,” jelas Yani.
Inspektur juga menyoal SK Bupati Mamuju yang dinilai cacat prosedur. Dia menekankan agar surat keputusan itu tidak dilaksanakan karena bisa berefek pada kasus hukum.
“Jika (pilkades di Februari) dipaksakan maka akan berbenturan hukum, ini disinyalir ada maladministrasi,” urainya.
RDP itu pun menghasilkan empat poin keputusan yang dibacakan oleh Sugianto selaku pimpinan rapat:
- Proses tahapan pilkades berdasar SK bupati adalah inprosedur, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
- Dengan alasan regulasi belum direvisi dan anggaran tidak memungkinkan cair, pilkades yang direncana Februari tidak dapat dilaksanakan. Ditunda paling cepat Juni.
- Peserta rapat diminta tetap konsisten menunda pilkades.
- Wacana permintaan kontribusi Rp 15 juta hingga Rp 20 juta perdesa untuk membiayai pilkades, forum menilai ilegal. Kalau terbukti, petugas hukum harus melakukan kerja-kerjanya.
Polemik pilkades ini seolah menambah daftar “miring” kinerja Habsi-Irwan di penghujung pemerintahannya. Sebelumnya, kasus “lenyapnya” Alokasi Dana Desa (ADD) tahap II TA 2020 bagi 30 desa, sempat menjadi pembahasan alot di ruang komisi 1, pekan lalu.
Reporter: Shermes
Editor : Mediaekspres.id
“Jangan kau penjarakan ucapanmu. Jika kau menghamba pada ketakutan, kita akan memperpanjang barisan perbudakan.”
Wiji Thukul
Comment