Aku, Kopi & Media Sosial

Oleh: Refli Sakti Sanjaya (Koordinator Bidang Humas & Advokasi MPA Cakrawala Manakarra STIE Muhammadiyah Mamuju)

MAMUJU, MEDIAEKSPRES.id – Aku. Seperti biasanya, tak lama setelah mandi. Menunggu charger yang terisi penuh, kompor yang mengharap istirahat pun kembali kusuruh bekerja. Kopi dan gula kembali larut dalam air panas. Tidak butuh waktu lama kopi kembali kunikmati, kucicipi demi sedikit, hangat, dan sungguh nikmat. Gadget yang baterainya baru terisi penuh kembali kupaksa bersetubuh dengan jemari. Media sosial adalah utama, selebihnya games kekinian yang mengisi aktifitas sebagian kalangan.

Perlahan-lahan jemariku bermain dengan penuh pengalaman di muka layar kaca. Scroll ke atas, scrool kebawah, keluar, masuk, cek slide demi slide, untuk mengetahui topik terkini. Agar tidak ketinggalan jaman, karena faktanya untuk berselancar dimedia sosial juga butuh yang namanya kuota internet.

Perlu uang untuk beli kuota internet. Kalau nasib kurang beruntung atau kere’ seperti dalam kaca mata kapitalisme, maka beruntung mereka yang punya banyak teman anak birokrat dan borjuasi kelas ekonomi menengah keatas, bisa pinjam kuota internetnya dengan cara tethering, tapi perlu kesiapan juga untuk membuang rasa gengsi.

Semua itu demi tidak ketinggalan zaman. Kurang beruntung pula mereka yang tidak punya teman, atau punya teman tapi nasib sama, parahnya tinggi gengsi pula. Akhirnya kolot, dan jadi pendengar yang baik kalau lagi nongkrong bersama teman diwarkop, sekretariat mahasiswa, atau tempat nongkrong kekinian lainnya.

Bermacam media sosial mainstream seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Youtube menjadi ruang perebutan wacana atau ruang asupan nalar atas informasi yang kian banyak berselancar diberanda. Hanya segelintir yang memandang sebagai ruang pertarungan wacana, agar selalu berupaya untuk tidak menjadikannya dogma semua informasi yang biasa terterima begitu saja dalam kepala. Kepala yang mungil, yang kuat, sampai yang beruban.

Maklum belum ada aturan untuk batasan usia para pengguna media sosial. Untuk pengguna usia balita mungkin biasa saja saat ini, apalagi didukung oleh orang tua yang terkalahkan oleh rasa gengsi. Akhirnya malas, juga berkurangnya hubungan emosional pada ayah dan ibu, nenek juga kalau beruntung masih ada. Kesenjangan dalam keluarga terlalu dini dirasakan untuk mereka yang masih berubun – ubun lunak.

Kalau dulunya anak – anak balita sampai usia sepuluh tahun lebih suka bermain layangan, kelereng, petak umpet, maka sekarang justru lebih suka nonton Youtube, main Facebook, main Instagram, main Tik Tok, main PUBG, main Mobile Legends, main Rally Fury. Meski hanya sebagian, tapi anak dalam lingkungan kota yang selalu keluar jadi pemenang top global. Kasihan. Namun itu masih hal biasa, yang jadi soal adalah masih minimnya kebiasaan membaca yang kritis.

Membaca kritis artinya selalu muncul keraguan saat membaca informasi yang beredar diberanda berbagai media sosial, sehingga tidak mudah percaya begitu saja. Media sosial adalah jembatan antara Hoaks dan Warga dumay (dunia maya). Maka perlu diperhatikan matang – matang. Tentunya agak tidak mudah tertipu.

Untuk bulan ini beranda Media sosial selain dipenuhi online shop, story galau, konten mendidik, juga berhamburan informasi terkait masa depan kepemimpinan daerah. Kebetulan bulan ini momentum kontestasi Pilkada serentak, jadi beranda medsos dipenuhi informasi – informasi politik. Tak jarang menemukan postingan yang berbau fanatik terhadap salah satu kandidat, sebagian besar terlampiaskan diberbagai beranda media sosial. Si ubun – ubun mungil bahkan jadi ikut dalam kontestasi politik yang ramai diperbincangkan. Seakan tak ada lagi masalah sosial yang lebih mendasar untuk diperbincangkan. Kemiskinan, ketidakadilan, kriminalisasi, korupsi, penggusuran, krisis literasi, dan bahkan lainnya.

Kalau dulu penyebar berita adalah Nabi. Di era media cetak penyebar berita adalah wartawan. Kini di era media sosial digital penyebar berita sudah banyak, bahkan tidak harus jadi wartawan pun bisa. Media sosial membuat lebih mudah untuk mendapatkan informasi. Hanya yang punya wacana lah baik itu bersifat opini atau berita mampu menggiring aktifitas nalar para pembaca (warga dunia maya). Dan akhirnya jadi dogma. Beruntung kalau tidak fanatik. Parahnya fanatik atas informasi yang bersifat hoaks. Seperti saya yang langganan jadi korban bulanan. Semoga teman – temanku tidak. Amiin!

Dengan gadget kujelajahi beranda Media sosial, dibarengi dengan kopi, karena nikmatnya pasti, bukan janji. Bahkan sebelum tidur, gadget terus mencungkil bola mataku, hanya untuk tidak ketinggalan informasi, meski alasan hanya sebagai pengisi kekosongan, atau meregangkan otot otak, jika ditanya kemudian, itupun beruntung kalau ditanya, padahal penuh harap untuk ditanya. Siklusnya begitu terus. Maklum aktifitas pengangguran menurut kaca mata kapitalisme.

Sudah lah. Bagiku terpenting yaitu moderat dalam mengonsumsi bacaan yang berhambur diberanda Media sosial. Jauh dari fanatik, dengan selalu memilah jenis wacana, kutanam baik – baik dalam nalar. Semoga Hoaks semakin dijauhkan dari berandaku. Juga tidak bosan untuk terus membaca. Karena aktifitas ini kuanggap adalah cara merawat nalar. Tentunya dengan Kopi dan berbagai Media sosial ku. (***)

Comment