MAMUJU, MEDIAEKSPRES.id – Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) 9 Desember 2020, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Pimpinan Kota Mamuju menyatakan sikap “Memilih untuk tidak memilih”.
Kader FPPI, Muh. Irfan mengatakan,
ada banyak alasan mengapa pihaknya tidak akan menggunakan hak suara pada pemilihan 9 Desember nanti.
Hal itu, antara lain ketidakpuasan terhadap calon yang ada, kecewa dengan sistem politik elektoral yang dilakukan selama ini, serta proses pemilihan tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat karena hanya melahirkan oligarki kekuasaan.
Irfan menjelaskan, memilih untuk tidak memilih atau akrab disebut golput, bukan berarti pesimis kepada figur tertentu.
Menurutnya, sebaik apapun citra politik yang ditampilkan setiap calon, hal itu akan terciderai dengan rancunya sistem negara.
“Sistem politik kita sudah sepenuhnya bobrok. Sebaik apapun citra yang ditampilkan oleh calon yang sudah terseleksi oligarki partai, ini tidak akan berpengaruh pada perubahan rakyat,” ungkap Irfan kepada Mediaekapres.id, Rabu (2/8/2020).
Menyatakan dukungan suara, lanjutnya, malah akan membuka ruang bagi partai untuk memonopoli oligarki, serta memperkokoh penetrasi kapital atas proses politik; dan sendi-sendi kehidupan rakyat Indonesa, khususnya Kabupaten Mamuju.
Meskipun di tengah euforia pemilihan bupati banyak yang mengatakan satu suara akan menentukan masa depan daerah, Irfan menilai itu sebuah kewajaran.
Pasalnya, daya pikir masyarakat saat ini sudah terbelenggu pengaruh politik, sosial dan ekonomi.
“Kami memahami bahwa kemiskinan imajinasi mereka (masyarakat) tidak luput dari pengaruh ekonomi, sosial dan politik yang mengungkung daya pikir. Mereka sudah merasa hidup di bawah kehidupan sistem yang enak,” urainya.
Ketua Komunitas Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (KOMKAR) itu pun berharap publik dapat memahami bahwa pilihan rasional harus diambil, sebagai ikhtiar menuju demokrasi substansial.
Ia mengajak masyarakat agar menolak demokrasi jadi-jadian dengan pilihan calon medioker, hasil dari politik transaksional oligarki yang nihil dalam komitmen.
Walaupun itu, para calon bakal muncul dengan berbicara masalah lingkungan, pendidikan, kemiskinan, korupsi, pensejahteraan petani, nelayan, maupun pemberdayaan atlet di semua cabang olahraga.
“Padahal kita tahu kedepannya Kabupate Mamuju akan menjadi tuan rumah Porprov, namun tak memiliki tawaran alternatif untuk menjawab persoalan sosial di daerah,” imbuh Irfan.
Lebih jauh, Muh. Irfan menerangkan bahwa pilihan untuk tidak memilih bukan berarti tanpa langkah strategi politik. Beberapa cara yang bisa dilakukan, yakni merebut ruang publik dari genggaman kelompok oligarki, seperti melakukan intervensi politik ke dalam kampus, desa, jalanan; serta melakukan pendampingan terhadap rakyat.
“Membangun pendampingan politik yang baik bersama rakyat yang tertindas, ini yang kami maksud membangun kesadaran basis-struktur ke supra-struktur,” jelasnya.
FPPI dalam kajiannya menganggap golput bukanlah tujuan akhir, melainkan awal protes terhadap kondisi perpolitikan saat ini. Irfan menyadari bahwa kritisme yang sanggup melampaui momen pemilihan umum sangat penting untuk dijaga.
Untuk itu, pihaknya memastikan akan tetap mengambil sikap kritis, terlepas dari siapa pun yang terpilih nantinya.
Irfan meyakinkan, sikap FPPI tersebut tidak berarti ingin memboikot pilkada, tetapi menyadarkan para oligarki bahwa menyuruh rakyat untuk berpartisipasi dalam sandiwara pemilu, sama dengan melanggengkan pembodohan, merusak citra arti demokrasi, serta bertolak belakang dengan cita-cita membangun masyarakat yang makmur.
“Kami juga akan tetap memilih tapi untuk tidak memilih sebagai politik gerakan, mencerdaskan rakyat atas praksis politik yang makin jauh dari semangat reformasi 22 tahun lalu, yang lahir dari kesadaran demokrasi atas hak dasar kedaulatan rakyat,” tegasnya.
Reporter: Shermes
Editor : Mediaekspres.id
“Mendik rakyat dengan pergerakan
mendidik penguasa dengan perlawanan.”Marco Kartodikromo
Comment