MEDIAEKSPRES.id – Gelandangan Politik adalah istilahnya Gus Dur. “Preman-preman itu akan jadi gelandangan politik seumur hidupnya”. Begitu ujarnya saat ia dilengserkan secara inkonstitusional.
Siapa preman-preman itu? Mereka adalah yang rakus dan haus kekuasaan. Berkonspirasi (atau ikut merestui) pelengseran Gus Dur secara semena-mena. Frontal maupun hipokrit (musuh dalam selimut).
Terus terang saja, para gelandangan politik ini masih bergelandangan juga di era pemerintahan Jokowi. Membangun narasi-narasi publik yang menyesatkan. Hanya seolah saja membela wong-cilik dan seolah membela UUD’45, padahal – seperti biasa – itu semua cuma alat justifikasi untuk menyebar hoaks ala firehose of falsehood. Dan itu memang keahlian mereka.
Setelah Jokowi dan para menterinya pontang-panting membangun macam-macam infrastruktur yang selama ini terbengkalai, di awal periode kedua ini ada bencana kesehatan nasional (Covid-19). Sampai-sampai kondisi kondisi bangsa mengarah ke situasi kegentingan (darurat) ekonomi. Ini harus segera diselamatkan!
Belajar dari sejarah, kita sadar bahwa situasi kegentingan seperti inilah yang ditunggu-tunggu para petualang politik itu. Rencana mau mengulangi skenario ‘Semut Merah’ yang sukses mereka pakai untuk menggulingkan Gus Dur mungkin sudah di ubun-ubun.
Tapi Jokowi memang bukan Gus Dur yang soleh dan tanpa tedeng aling-aling itu. Jokowi cerdik dan lihai juga, langkah kuda dengan Perppu ini dijalankan terlebih dahulu, dan ini bikin mati langkah lawan-lawan liciknya.
Dulu Gus Dur difitnah habis-habisan lewat hoaks skandal Bulogate dan Bruneigate sampai ke jebakan krisis untuk ‘Menjerat Gus Dur’ ala Bawazier-Panigoro-Rais dan para kompradornya. Sampai akhirnya dimakzulkan lewat SI-MPR yang penuh dengan intrik itu.
Maka sekarang para gelandangan politik bisa gigit jari. Jokowi sudah punya ‘surat sakti’ Perppu Corona. Hehe…
Jokowi memang bukan Gus Dur. Soal bagaimana proses lobi-lobi politik sampai Perppu itu mulus jadi Undang-Undang tidak perlu dibahas, tidak penting juga.
Hal paling menonjol dari figur presiden yang sekarang ini adalah kepiawaiannya menggerakan langkah kuda catur yang lincah dan sulit diduga oleh lawan politik. Untuk kemudian bergerak seperti buldozzer yang sangat powerful mendorong bukit tanah untuk menutup lubang-lubang.
Faktanya sekarang Perppu Corona sudah setujui DPR-RI, salut! Buldozer bisa bergerak, banyak yang belum rata nih, masih ada yang mbalelo, masih coba-coba njegal yang enggak-enggak. Labrak saja!
Payung hukum yang diperlukan dalam situasi kegentingan sudah tersedia. Payung untuk menangkal hujan tuntutan dari pihak-pihak yang kakinya babak belur terinjak gerigi buldozer. Buat kelompok yang baik-baik saja khan gak ada masalah.
Mungkin lantaran Presiden sudah mendapat Surat Sakti itu maka para petualang politik mulai menyerang parlemen yang telah mengesahkan Perppu itu jadi Undang-Undang.
Ada yang menuduh bahwa ini semacam ‘Bunuh Diri Massal Anggota DPR RI’. Hahaha… Tapi kok kita justru melihatnya ini adalah langkah ‘Pelumpuhan Massal Gerak Gelandangan Politik’.
Konteksnya jelas, intinya, situasi sudah memenuhi parameter kegentingan yang memaksa harus memberikan kewenangan kepada Presiden untuk bertindak cepat, tegas dan antisipatif. Tidak bisa banyak cincong. Negara harus diselamatkan!
Dasar hukum Perppu ini adalah pasal 22 ayat (1) UUD-1945: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”
Dan pasal 1 angka 4 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan: “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Perppu Corona ini bukan seperti Supersemar yang hilang itu. Pendek kata, Perppu Corona ini dasar hukumnya jelas, dan kuat. Sudah pula disosialisasikan dan dokumennya bisa diakses publik kapan saja.
Sekarang tinggal pelaksanaannya yang efektif sesuai maksud dan tujuan dari Perppu itu sendiri.
Hati-hati, semasa kegentingan jangan sampai ada lagi hoaks dan penggiringan opini busuk. Penggiringan opini dengan berbagai framing sesat seperti soal utang negara yang berjibun lah (tanpa memahami soal rasio utang, soal utang konsumtif dan produktif), soal TKA asal Tiongkok lah (soal investasi dikaitkan dengan isu nasionalisme), sampai ke jualan isu Komunisme yang nggak ada matinya itu.
Padahal kita semua melihat, bahwa administrasi Jokowi ini sedang mengoperasi borok-borok sisa rejim lama. Mulai dibedah untuk dikeluarkan nanahnya. Supaya infeksi korupsi bisa mulai disembuhkan. Setelah disobek ya disiram pakai alkohol yang perih itu dulu, supaya kumannya mati. Sakit memang, tapi perlu.
Kita ambil contoh program pembersihan di banyak BUMN deh. Misalnya di Pertamina, Telkom, PLN, Garuda, Jiwasraya, Asabri, Bank-bank pemerintah, dan lain-lainnya. Ternyata operasi ini bikin para gelandangan politik ini gerah. Kenapa ya?
Padahal sebetulnya, dengan banyaknya skandal yang terbongkar artinya operasi Bersih-BersihBUMN ini berjalan dengan baik. Paling tidak sejauh ini. BUMN yang selama ini dijadikan tempat nangkring (perching) para komisaris dan direksi titipan mulai dibersihkan satu persatu.
Ada total asset sekitar Rp 8.300 trilyun di situ. Jokowi tahu persis bahwa ada potensi ATO (assets turnover) dan ROA (return on assets) yang besar jika saja BUMN bisa dikelola secara bersih dan profesional.
Bayangkan, dengan ATO (assets turn over) 0,3 kali saja saja BUMN bisa berkontribusi Rp 2.490 triliun ke PDB. Atau dengan ROA (return on assets) sebesar 5% saja sudah punya potensi kontribusi sekitar Rp 415 triliun setiap tahun kepada APBN. Tentu saja itu angka kasar, masih perlu ditimbang lagi porsi dividen saham pemerintah.
Pokok soalnya, bahwa dari dari sektor BUMN saja sebenarnya kita punya potensi sangat besar. Walau sayangnya masih ada impotensi besar dalam pengelolaannya di beberapa aspek.
Belum lagi kalau hitung-hitungannya sampai ke soal potensi kekayaan alam: pertambangan, maritim, pertanian, wisata, posisi geo strategis untuk jalur logistik dunia, dll.
Itu semua kalau mau diijonkan, atau istilah kerennya ditawarkan dalam SWF (sovereign wealth fund) bakal lebih dari cukup, bahkan melimpah ruah. Tapi ini soal lain lagi, nanti ada saatnya kita ngobrol soal SWF ini. Sabar.
Sekarang soal surat sakti dulu, dan dampaknya pada para gelandangan politik yang makin merana hidupnya.
Perppu No.1/2020 (Perppu Corona) memang ‘surat sakti’ buat administrasi Presiden Joko Widodo. Untuk mengeksekusi misi penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional. Fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak.
Mengenai detail isi Perppu ini bisa dibaca sendiri. Gampang kok mengaksesnya, lengkap disajikan di laman resmi Kemenkeu juga laman lainnya. Era digital memudahkan mereka yang mau berselancar mencari informasi.
Tapi okelah, supaya gak repot, kita kutipkan saja pasal yang kerap diributkan, ada di Bab V Ketentuan Penutup, pasal 27:
(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau
lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Ini memang pasal sakti, dimana semasa kegentingan ini, Presiden berhak (dan wajib) untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menyelamatkan negara. Tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana. Fair sih sebetulnya. Situasinya genting kok.
Pesan yang tak kalah penting adalah buat para gelandangan politik: Presiden Jokowi tidak bisa dimakzulkan seperti yang dulu kalian lakukan kepada Gus Dur! Jelas?
Maka kepada para gelandangan politik, selamat gigit jari dan gemetaran. Kepada yang lainnya, mari kencangkan ikat pinggang dan terus berkarya.
Penulis: Albar/Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Ekonomi Indonesia (GEMEI)
Comment