Pemahaman Maulid Yang Perlu Diluruskan

Bulan telah memasuki bulan Rabi’ul awal dalam perhitungan tahun Hijriyah, yang berarti saat bagi umat Islam memasuki bulan yang khususnya di Indonesia dikenal dengan istilah bulan maulid karena pada bulan ini diyakini sebagai bulan peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw ke dunia. Bagi sebagian besar umat Islam di Indonesia telah menjadi tradisi untuk memperingati maulid dengan perayaan-perayaan yang bermacam-macam bentuknya sesuai dengan apa yang dijadikan sebagai kebiasaan yang diwariskan oleh masyarakat sebelumnya. Contoh yang paling dekat misalnya perayaan maulid yang rutin diadakan di daerah Cikoang (Takalar; Sulawesi Selatan) dan Bukit Salabose (Majene; Sulawesi Barat) yang masing-masing mempunyai ciri khas dalam tradisi perayaan maulidnya. Walaupun demikian, masyarakat di masing-masing daerah tersebut berangkat dari semangat yang sama dalam perayaannya, yaitu untuk memanifestasikan perasaan suka citanya dalam menyambut peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw ke dunia sebagai bukti cintanya kepada nabinya.

Bagi sebagian umat Islam, tradisi perayaan-perayaan dalam memperingati maulid tersebut mengundang kontroversi utamanya dalam hal nilai keutamaan ibadah dan ke-ridha-an Allah swt akan isi kegiatan-kegiatan dari perayaan tersebut. Kontroversi ini berangkat dari akan adanya ketentuan bahwa setiap ibadah harus mempunyai sandaran yang kuat pada Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw sebab jika tidak, maka secara otomatis harapan untuk mendapat ke-ridha-an Allah swt pun menjadi sia-sia. Dengan demikian semangat untuk membuktikan cinta kepada Nabi Muhammad saw yang menjadi semangat dari setiap perayaan maulid tersebut juga akan tertolak.

Anggapan seperti di atas tentunya hadir bukan tanpa dasar, sebab dalam setiap perayaan-perayaan maulid kendati masing-masing daerah mempunyai ciri khas tetapi umumnya juga mempunyai beberapa kesamaan. Kesamaan tersebut terletak pada isi acara dari perayaan-perayaan tersebut. Hal itu kemudian menjadi fokus dalam menelaah permasalahan perayaan peringatan maulid ini. Secara sederhana fokus tersebut dapat dibagi menjadi 2 poin penting. Pertama, perayaan maulid itu sendiri yang tidak ditemukan secara eksplisit adalah perintah Allah swt dan Nabi Muhammad saw, ditambah lagi pada zaman Nabi Muhammad saw nyatanya tak ada praktek para sahabat yang memperingati maulid dengan perayaan-perayaan tertentu. Olehnya, ia merupakan ritual yang dibuat-buat oleh umat sesudah zaman Nabi Muhammad saw dan para sahabat yang tidak mempunyai dasar. Kedua, umumnya di setiap perayaan maulid dirasakan tidak lengkap tanpa juga membaca kitab maulud. Adapun kitab maulud tersebut umumnya dikenal terdapat banyak jenis, yaitu barzanji, deba’i dan simtudduror dan lain-lain yang semuanya berisi tentang cerita kemuliaan Nabi Muhammad saw dan pujian-pujian terhadap beliau. Ironisnya, Nabi Muhammad saw dengan segala sifat kerendahan hati beliau sebagai makhluk di hadapan Allah swt menolak untuk dikultuskan oleh umatnya. Hal itu setidaknya sesuai dengan hadis yang artinya “Janganlah mengkultuskan aku seperti orang nashrani mengkultuskan anak Maryam, maka katakanlah aku hamba dan utusan Allah swt” dan ”Semburkanlah pasir ke muka orang yang suka memuji”.

Dengan rentetan 2 poin di atas maka sangat wajar jika kemudian terdapat kontroversi perihal memperingati maulid dengan perayaan-perayaan tertentu. Hal itu tentu didasari atas perlunya umat dalam setiap aktifitas yang dimaksudkan sebagai ibadah tidak melenceng dan tetap bersandar pada Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, penulis dengan segala keterbatasan pada momentum bulan maulid ini mencoba untuk menelaah 2 poin di atas yang sering menjadi kontroversi di tengah-tengah umat Islam dengan tuduhan bid’ah.

Meluruskan poin

Pertama, bahwa perayaan maulid bukanlah perintah baik dalam Al-Qur’an maupun hadis dan tidak dipraktekkan oleh para sahabat Nabi Muhammad saw. Benar adanya bahwa jika kita coba mencari perintah untuk merayakan peringatan maulid maka tidak akan ada ditemukan secara eksplisit baik dalam Al-Qur’an maupun hadis, namun bagaimana jika kita menelaah lagi secara implisit? Karena setiap nash harus dipahami secara komprehensif baik eksplisit dan implisitnya.

Dikisahkan oleh sahabat Abbas r.a. bahwa ia bermimpi bertemu dengan Abu Lahab yang lebih dahulu meninggal. Sahabat Abbas r.a. bertanya kepada Abu Lahab tentang bagaimana keadaannya di akhirat. Abu Lahab kemudian menjawab bahwa siksa Allah swt sangat pedih kepadanya karena kedurhakaannya, tetapi setiap hari senin dia mendapat nikmat tiada tara karena Nabi Muhammad saw meminumkan padanya air yang langsung keluar dari jemari beliau. Sebagaimana diketahui salah satu kemukjizatan Nabi Muhammad saw adalah jemari beliau dapat mengeluarkan air yang dapat diminum. Tentu saja perlakuan Nabi Muhammad saw terhadap Abu Lahab yang terdapat dalam Bukhari Muslim tersebut ada yang melatar belakanginya.

Diawali saat kelahiran Nabi Muhammad saw tanggal 12 Rabi’ul awal tahun gajah, ketika budak dari Abu Lahab bernama Suwaebah dimerdekakan karena menyampaikan kabar gembira kelahiran keponakannya yang tidak lain adalah Nabi Muhammad saw. Atas kebahagiannya, maka Abu Lahab pun memerdekakan hambanya yang harganya sebanding dengan harga 50 ekor unta pada saat itu. Kendati kemudian Abu Lahab ingkar terhadap ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw, tetapi Nabi Muhammad saw tetap adil dengan memberikan hak Abu Lahab yang telah merayakan kelahiran beliau. Dengan kata lain, Abu Lahab yang melakukan perayaan atas kelahiran Nabi Muhammad saw dengan caranya sendiri tetap akan mendapat balasan nikmat. Balasan kebaikan dari Nabi Muhammad saw inilah yang menjadi hikmah bagi ummat bahwa merayakan maulid adalah sebuah keutamaan.

Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa semangat dalam merayakan maulid adalah untuk memanifestasikan perasaan suka cita dalam menyambut peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw ke dunia sebagai bukti cinta kepadanya. Bagi para sahabat, dalam memanifestasikan suka citanya atas diutusnya rahmat bagi seluruh alam adalah dengan siap mengorbankan seluruh jiwa raganya demi berjuang bersama Nabi Muhammad sekaligus sebagai bukti cintanya pada beliau. Bagi umat sesudahnya hingga zaman sekarang ini tentu metode yang digunakan dalam memanifestasikan suka cita tersebut tentu berbeda sebab Nabi Muhammad saw tidak lagi bersama kita secara lahir sebagaimana para sahabat. Manifestasi cinta itu disalurkan dengan merayakan maulid dalam bentuk membanyakkan zikir, sholawat bahkan berpuasa sebagaimana Nabi Muhammad Saw memperingati hari lahirnya dengan berpuasa di hari Senin.

Baca juga

Kedua, adanya kebiasaan dalam perayaan maulid membaca kitab maulud yang berisi cerita tentang kemuliaan dan pujian Nabi Muhammad saw. Sedangkan di sisi lain beliau juga mengeluarkan hadis yang melarang umatnya untuk memuji, sebagaimana 2 contoh hadis yang dijelaskan di atas. Untuk hadis, ”Janganlah mengkultuskan aku seperti orang nashrani mengkultuskan anak Maryam, maka katakanlah aku hamba dan utusan Allah swt” tentunya perlu diluruskan jika hadis ini dijadikan dalil untuk melarang pembacaan kitab maulud pada perayaan maulid. Alasannya sederhana, selama tidak mengkultuskan Nabi Muhammad saw seperti orang nashrani mengkultuskan anak Maryam dan masih menganggap Nabi Muhammad saw sebagai makhluk, pujian boleh saja dilekatkan pada beliau.

Sebagaimana sahabat Hasan bin Tsabit r.a. dan Kaab bin Zuhaer r.a. menulis syair pujian untuk beliau dengan shalawat badar dan shalawat burdah, maka pujian yang terdapat di kitab maulud pun juga bukan larangan. Jika Nabi Muhammad saw tidak melarang sahabatnya memujinya maka mengapa memuji beliau dengan membaca kitab maulud menjadi larangan? Bukankah dengan menyerap makna dari kitab maulud kita lebih dapat mengenal Nabi Muhammad saw dan menimbulkan cinta kepadanya?

Untuk hadis kedua, ”Semburkanlah pasir ke muka orang yang suka memuji” juga perlu diluruskan jika hadis ini dijadikan dalil untuk melarang kita untuk memuji dan memuliakan Nabi Muhammad saw. Jika ditelaah lebih jauh dalam literatur tentang hadis, sebenarnya hadis ini diperuntukkan kepada orang-orang yang senang memuji para penguasa untuk mendapatkan manfaat dunia darinya. Hal itu disebabkan, Nabi Muhammad saw tidak pernah mengajarkan untuk menggantungkan harapan kepada selain Allah swt, maka orang yang mengharapkan datangnya manfaat dari penguasa dengan memujinya diperingatkan oleh Nabi Muhammad saw dengan hadis tersebut. Intinya perlu dalam memahami nash juga harus dipahami konteks yang melatarbelakanginya. Semoga pada momentum bulan maulid ini, Allah swt senantiasa menanamkan rasa cinta kita kepada utusannya Nabi Muhammad saw. Meneladani beliau dan senantiasa bersedih ketika mendurhakai beliau. Amien.

Penulis : K. H. Ilham Shaleh M,Ag. (Pengasuh Ponpes Darul Ulum Al Asy Ariyyah Syekh KH Muh Shaleh Majene)

Comment