Mengurai Benang Kusut Hak Perempuan dalam Pemilu

Oleh: Sadriana (Alumni Sekolah Kader Pengawas Partisipatif Nasional Angkatan III)

MAMUJU, MEDIAEKSPRES.id – Tanggal 9 Desember 2020, kita akan menghadapi Pemilukada di 270 daerah se-Indonesia.

Masyarakat berhak menyalurkan suaranya pada pesta elektoral tersebut. Namun, apakah seluruh lapisan masyarakat diberi hak yang sama dalam Pemilu?

Sesuai perundang-undangan, setiap warga negara yang berusia 17 tahun dan lebih — dan sudah — atau pernah menikah, memiliki hak untuk memilih. Begitu juga kaum perempuan.

Sayangnya, pemilih basis perempuan ini tergolong sebagai pemilih rentan. Perempuan sering mengalami kesulitan atau gampang dipengaruhi dalam menyalurkan hak suara (pemilih disabilitas, pemilih pemula dan pemilih perempuan).

Mereka masih dikekang dengan budaya patriarki yang kemudian membuat perempuan cenderung sebagai pengikut keputusan yang dibuat ayah (kalau dia lajang), dan suami (kalau si perempuan sudah menikah). Padahal mereka memiliki kuasa penuh akan hak pilihnya yang akan dia pilih berdasarkan hati nurani.

Pemilih perempuan masih belum bebas dalam menggunakan hak pilihnya. Tentu saja ini sudah tidak sesuai dengan asas pemilu: LUBER DAN JURDIR.

Perempuan sudah seharusnya bukan lagi pemilih rentan tetapi pemilih cerdas yang mengambil perhatian, guna mengurangi Indeks Kerawanan Pemilu, misalnya money politic, black campaign, hoax & speech, ASN tidak netral dan lain-lain.

Saya juga mengajak semua perempuan menjadi pengawas partisipatif basis masyarakat yang akan melakukan pengawasan dan bahkan melaporkan jika ada dugaan pelanggaran.

Terakhir, tidak hanya kaum perempuan yang perlu penyadaran tapi dari semua kalangan. (***)

“Saya bersuara bukan karena saya ingin berteriak, tetapi supaya orang-orang yang tidak memiliki hak juga bisa didengar. Kita tidak bisa sukses bila sebagian dari kita diam saja.”

Malala Yousafat

Comment