Gerakan Feminisme Harusnya Membantu Laki-Laki Gondrong

MEDIAEKSPRES.id – Kata Feminisme kini begitu akrab dengan telinga saya yang mulai terjebak pada dunia kemahasiswaaan yang penuh dengan dinamika dan jatuh cinta. Perihal jatuh cinta, sebagaimana jatuh. Jika tidak sakit maka retak. Namun saya tidak akan sedang berfokus pada wilayah tersebut. Kini akal pemikiran saya tertarik untuk berkutat pada wilayah Feminisme dan gender, serta tidak lupa maskulinitas patriarkis.

Kenapa kemudian saya menyimpulkan bahwa gerakan Feminisme semestinya juga menyelamatkan laki-laki gondrong? Karena sebenarnya, jika perempuan menginginkan kesetaraan, ia harus mampu memandang secara universal. Bukan hanya kepada kaumnya saja. Memandang hanya kepada kaum sendiri juga bentuk ketidakadilan serta ketidaksetaraan, dalam kehidupan bermanusia.

Nah, di wilayah ini, laki-laki gondrong sering mendapatkan stigma yang bisa dilihat dari beberapa ungkapan kata yang kemudian menyudutkan dan tidak memperbolehkan si gondrong untuk beberapa hal — hanya untuk patuh dalam norma. Semisal umpatan kata “ih, minum susu padahal gondrong” atau “gonrong kok menangis.” Umpatan kata itu adalah bentuk bias gender sedari penampilan. Rekam jejak orang gondrong malah membuat mereka seolah gagal menjalankan tuntunan maskulinitas kalau terlalu feminis dalam menghadapi suatu peristiwa atau kejadian.

Ini yang kemudian melestarikan ketidaksetaraan. Namun bukan berarti dong mesti membuat gerakan gondrong minum susu atau gerakan persatuan gondrong minum susu karena gonrong butuh kalsium. Haha..

Lagipula memangnya yang nyedot itu susu rambutnya? Sampai perlu dipermasalahkan sedemikian rupa. Lalu kenapa di Indonesia belum ada gerakan laki-laki khusus yang memperjuangkan hak mereka? Kenapa hanya perempuan yang heboh. Apakah benar umpatan kata “mungkin memang kesedihan perempuan dirancang agar laki-laki melupakan penderitaannya sendiri?”

Kembali pada pembahasan, saya memaknai maskulinitas patriarkis itu sebagai yang berhubungan dengan diskursus praktek tentang laki-laki. Misalnya bagaimana idealnya laki-laki dalam setting budaya patriarki. Nah, di dalam konteks maskulinitas patriarkis itu meyakini bahwa maskulinitas itu superior atas femininitas.

Dalam maskulinitas dan feminitas itu tidak semata-mata berbeda. Tetapi juga ada hirarki. Ini membuat karakter-karakter maskulin yang dianggap sebagai superior feminitas.

Kesalahan kaum perempuan dalam memperjuangkan haknya ada pada tidak maunya mereka bekerja sama dengan laki-laki untuk beberapa hal tertentu. Contoh besarnya saja, ada begitu banyak organda kemahasiswaaan yang membentuk pergerakan perempuan khusus. Gerakan yang diisi oleh kesemuanya adalah perempuan saja.

Padahal, memulai kerja dengan laki-laki untuk isu-isu kekerasan terhadap perempuan adalah hal yang penting. Kalau kita membuat perempuan berdaya, mereka memiliki pandangan baru tentang bagaimana menjadi perempuan kemudian mereka akan ingin membangun relasi yang lebih besar. Tetapi jika laki-laki masih dengan keyakinan yang lama, apakah kemudian kesetaraan itu bisa terwujud?

Pada saat perempuan memiliki keyakinan bahwa mereka adalah individu yang utuh, memiliki integritas tubuh, kemudian memiliki kapabilitas yang sama dengan lelaki dalam banyak hal sementara laki-laki masih berpikir bahwa perempuan itu adalah yang hanya menjalankan peran-peran domestik, bahwa perempuan harus taat dan patuh kepada suami, maka kira-kira apa yang akan terjadi?

Yang terjadi hanyalah ketegangan-ketegangan baru. Logikanya sama ketika menghadapi korban kekerasan seksual pada anak. Tentu sangat percuma jika hanya anak yang diberikan edukasi semacam sex education agar mereka tahu situasi di mana mereka dinyatakan dilecehkan.

Namun, orang tua tidak diberikan edukasi untuk bagaimana memperlakukan anak dengan sebagaimana mestinya agar terhindar dari aksi kekerasan seksual. Nah, sama seperti perempuan. Jika terus mengedukasi diri sendiri tanpa memberi edukasi kepada sang pemberi ancaman buruk, maka itu hanyalah menggiring para perempuan untuk terus siaga menangkis kemungkinan-kemungkinan buruk dalam dirinya, tanpa pernah membasmi akar dari permasalahan yang sebenarnya.

Contohnya saja, kita sudah begitu banyak melakukan ruang konseling untuk perempuan, namun sampai pada detik ini masih banyak yang menganggap kedudukan prempuan itu tergantung atas kedudukan suaminya.

Pada tahun 2019, ada gerakan yang bernama Gerakan Laki-Laki Baru. Tujuan dari gerakan ini adalah menyediakan ruang untuk membicarakan tentang laki-laki dan maskulinitas — karena tidak ada ruang untuk membicarakan hal tersebut.

Laki-laki tidak pernah punya ruang untuk membicarakan dirinya. Jika laki-laki berkumpul, biasanya yang dibicarakan apa? Hanya seputar bola, Liga Inggris, Liga Italia, atau MotoGP — atau dia bicara tentang kecelakaan kendaraan terakhir atau bicara tentang situasi politik terakhir.

Ia tidak pernah bicara tentang dirinya. Ia tidak pernah bicara tentang laki-laki. Kenapa demikian? Karena ada norma-norma yang belaku bahwa laki laki tidak atau pantang untuk berbincang perihal sisi-sisi yang menunjukkan kelemahan mereka.

Hal tersebut menjadi bentuk menormalisasi laki-laki yang mengambil peran domestik. Semestinya kan, Kalau ruang publik itu dibagi, maka ruang domestik itu pun perlu dibagi. Bukan menjadikan ruang publik dibagi untuk perempuan namun ruang domestik dibiarkan hanya perempuan sendiri yang bertanggung jawab.

Baiklah saya akan memberikan pertanyaan yang mesti dijawab oleh laki-laki dan perempuan.

Pertama, Seberapa sering Anda merasa khawatir dilecehkan secara seksual saat anda berada di angkutan umum atau di tempat-tempat umum lainnya?

Kedua, Seberapa sering Anda khawatir diperkosa pada saat anda berjalan sendirian di malam hari?

Ketiga, Seberapa sering Anda merasa bersalah ketika anda ke luar rumah namun urusan rumah tangga belum selesai ? Contohnya cucian piring atau urusan dapur lainnya.

Keempat, Apakah anda harus minta izin saat anda memutuskan untuk bekerja di luar rumah ?

Dan terakhir, Apakah jenis kelamin anda menghalangi karir anda?

Nah, pada pertanyaan tersebut saja, yang mendominasi jawaban “sering” yakni perempuan. Bahkan ada laki-laki yang akan menjawab “tidak pernah” untuk beberapa atau kesemua pertanyaan di atas. Lantas apa yang menyebabkan hal tersebut?

laki laki menikmati apa yang disebut dengan privilese atau perlakuan istimewa. Jika dalam konteks bisnis perlakuan istimewa itu dimaksudkan Adalah keuntungan yang kita dapatkan bahkan sebelum bisnis itu dimulai. Atau perlakuan istimewa yang di dapatkan oleh laki-laki bahkan sebelum laki-laki itu di lahirkan. Jadi, apapun warna kulit, seperti apapun bentuk rambut, ketika anda terlahir laki-laki. Maka anda tidak akan pernah khawatir di perkosa, dilecehkan atau khawatir terkena dampak kultural yang berbau domestik. Anda akan secara otomatis menjadi kepala rumah tangga tanpa ada orang yang menggugatnya. Dan privilase ini melembaga, ia di nikmati oleh semua laki-laki. Di sini, Laki laki mendapatkan keuntungan (divident) dari tatanan gender yang patriarkis. (Keuntungan material=akses terhadap sumber daya)

factor kedua adalah kekuasaan atau power. Ketertutupan wacana maskulinitas adalah bagian melestarikan ketidak setaraan gender. (non material=kekuasaan)

Jadi, sebenarnya kenapa kita penting untuk membincangkan maskulinitas, menciptakan ruang untuk laki-laki membicarakan dirinya. Karena membiarkan laki-laki dan maskulinitas dalam dirinya untuk tidak diperbincangkan itu adalah privilese. Karena tidak adanya perbincangan antara laki laki dengan kritik terhadap konsep maskulinitas dan kelelakian dalam masyarakat kitajustru tidak memungkinkan kita untuk melakukan kritik atas konsep maskulinitas patriarkis.

Ada yang berkata bahwa maskulinitas itu adalah struktur kekuasaan. Kenapa di sebut begitu? Orang akan cenderung maskulin ketika dia berada di power. Tapi akan merasa sangat feminis ketika berada pada posisi subordinat terlepas dia laki-laki ataupun perempuan.

Patriarki memiliki kepentingan untuk mengkonstruksi konsep maskulinitas yang dapat mendukung patriarki. Kontruksi maskulinitas yang bercirikan superioritas, dominasi, kontrol dan kekuasaan adalah konsep laki-laki yang diciptakan patriarki.

Itu kemudian yang justru dapat membawa dampak kerusakan atau hal negatif untuk lelaki. Misalnya Laki-laki terobsesi untuk menjadi laki-laki seperti yang di idealkan. Laki-laki terlibat perilaku yang beresiko untuk memenuhi norma laki-laki yang patriarkis. (Terlibat kekerasan, kriminalitas, perilaku, seks yang beresiko) atau seperti yang saya bilang tadi di awal. Stigma untuk laki-laki yang gonrong.

norma maskulinitas juga mempengaruhi perilaku laki laki dalam mencari pertolongan atau layanan kesehatan. Misalnya saja ketika laki-laki patuh norma dari maskulinitas yakni tidak boleh menangis untuk beberapa sebab, malah akan membuat laki-laki tersebut menyiksa diri sendiri dengan terus saja menahan apapunn untuk membuktikan maskulinitas yang sebenarnya menyimpang. Laki-laki akan merepresi atau terpaksa merepresi kecenderungan yang berbeda dengan apa yang di idealkan menjadi laki-laki (tidak boleh tampak lemah, tidak boleh menunjukkan kesedihan atau, bertubuh kekar)

Ketidak mampuan laki-laki untuk mewujudkan ekspektasi tentang menjadi laki-laki ideal akan mempengaruhi pembentukan citra diri yang negatif. Itu bisa berdampak pada laki-laki akan merasa harus memiliki kekuasaan dan kontrol atas perempuan. Hal tersebut yang menjadi salah satu alasan mengapa Laki-laki potensial melakukan kekerasan terhadap perempuan (baik psikis, fisik, seksual dan ekonomi) kekerasan tersebut digunakan oleh laki-laki dalam rangka memposisikan perempuan pada kedudukannya (kekuasaan ekonomi, politik dan sosial yang lebih rendah dibanding dengan laki-laki).

Norma yang terjadi adalah bahwa perempuan diidentifikasi sebagai feminin dan feminitas dinilai lebih lemah dari maskulinitas maka perempuan dinilai rentan terhadap kekerasan sehingga perempuan membutuhkan perlindungan dari laki-laki. Nah, keyakinan ini yang kemudian membuat perempuan rentan terhadap kekerasan dan menguatnya pandangan superioritas laki-laki. Keyakinan ini lah kemudian yang menjadi dasar dari maskulinitas patriarkis dan melestarinya ketidak setaraan. Sampai di sini apakah sudah paham mengapa laki-laki perlu juga ruang khusus untuk membicarakan dirinya?

Jika ingin beralih pada survey dan data-data. Maka saya akan menggiring pada The international men and gender equality survey (IMAGES) yang diselenggarakan di 9 negara menemukan bahwa 20-54 persen laki-laki mengaku pernah melakukan kekerasan fisik kepada pasangannya.

Ada juga Survey yang dilakukan PBB di 6 negara di Asia Pasifik menemukan bahwa hampir separuh laki laki mengaku pernah melakukan kekerasan fisik dan/atau seksual kepada pasangannya (antara 26-80 persen di seluruh lokasi penelitian ) hampir seperempat laki-laki mengaku pernah memperkosa (antara 10-62 persen di seluruh lokasi penelitian)

Salah satu faktor yang mendorong laki-laki melakukan kekerasan adalah keyakinan bahwa mereka memiliki hak untuk mendapatkan layanan seksual ada atau tidak ada konsen (kerelaan) dari perempuan. Sangat-sangat memiriskan, bukan?

Nah, tidak perlu jauh-jauh. Coba mulai dulu dari tidak mendiskriminasi laki-laki lewat norma-norma maskulinitas patriarkis. Atau dengan tidak lagi menetapkan aturan pada laki-laki gondrong untuk tidak melakukan beberapa hal tertentu yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan rambut panjangnya.

Sekilas untuk penutup pada tulisan ini, tulisan ini saya buat untuk lelakiku yang sering resah oleh stigma jangan minum susu karena kamu gondrong, minumlah kopi saja. Maka atas segala bentuk kecintaan pada gerakan perempuan dan bentuk kecintaan pada lelakiku, saya membuat tulisan ini.

Penulis: Firdha Mutmainnah

Quotes of the day “Mencari cinta adalah baik, tapi memberi cinta lebih baik.”

William Shakespeare

Comment