Ekspedisi Alam Raya Batu Ukir, Jejak Peradaban Sampaga

Tak ada cuaca ekstrim pada perjalanan kami yang harus kami hindari. Hanya bermodalkan semangat dan rasa kebersamaan mengantarkan berada pada jejak peradaban di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Bukan pendaki gunung, bukan pula peneliti. Kami—sepuluh orang—hanya ingin mengenang dan menyaksikan maha karya spektakuler sang pewaris perdaban masa lampau. Sangat menyenangkan tentunya dan memberi banyak pelajaran bagi setiap orang, dalam melakukan setiap tujuan perjalanan. Apalagi berada pada ketinggian pedalaman Kecamatan Tommo, Mamuju. Menyaksikan alam raya membentang luas, pesona keindahan akan ketakjupan mata, menikmati keindahan yang memberi hikmah bagi setiap insan. Hasil yang didapatkan bukan pada tujuan, tetapi pada proes perjalanan rasa. Rasa syukur dari sebuah perjuangan. Hal ini dapat diperoleh karena ekspedisi alam raya biasanya dipenuhi beragam rintangan yang tak terduga, baik itu karena binatang buas, medan yang ekstrim ataupun kondisi cuaca.

Saat mencapai tujuan, hal tersebut dapat diibaratkan sebagai sebuah perjuangan yang akhirnya dapat terbayarkan dengan keindahan luar biasa. Rasa takjub, puas dan syukur bahkan seringkali membuat tiap orang merasakan haru mendalam dan rasa yang tak tergantikan.

Pada hari Jum’at sekitar pukul 19.00, kami  star dari Mamuju menuju Topoyo Kabupaten Mamuju Tengah bersama Sukriadi, Hikmawan dan saya sendiri Muhammad Iksan Hidayah. Kami singgah di rumah Sukriadi, di Sampoang Kecamatan Kalukku, kami dijamu makan malam oleh keluarga Sukriadi, karena kebetulan keponakan Sukriadi merayakan ulang tahun. Kami beritiga sedang asik makan, Andika dan istrinya datang. Saya dan Hikmawan menyantap ayam goreng kecap dan palakko, sedangkan Sukriadi dan Andika tak makan daging ayam. Usai jamuan makan malam, kami berangkat menuju Topoyo. Andika dan Istrinya tak ikut Bersama kami.

Di perjalanan hujan turun, kabut memenuhi kaca mobil, disebabkan uap dan asap rokok. Hikmawan sebagai supir menutup kaca jendela mobil, isyarat AC akan dinyalakan. Tak ada cerita terdengar diantar kami bertiga. Mungkin karena saya sedang tertidur lelap di kursi belakang.

Sabtu pada Pukul 01.00 kami tiba di rumah Alamsyah. Alamsyah asal Lombo’na, Kecamatan Tubo, Kabupaten Majene. Ia merantau ke Topoyo karena tugas sebagai ASN di kantor Kemetrian Agama Kabupten Mamuju Tengah. Ia juga pernah lama di Mamuju, aktif di organisasi. Ia salah satu mantan ketua umum PC. PMII Mamuju dan mantan Sekretaris Wilayah PW. GP. Ansor Sulbar. Saat ini ia menjabat Ketua Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Provinsi Sulbar.

Kami bertiga nginap di rumah Alamsyah. Diskusi terjadi hingga larut malam, ditemani Anggota Banser Mamuju Tengah Ashari dan Muhlis. Rahmat mantan ketua PC. PMII Polewali Mandar juga hadir di rumah Alamsyah. Rahmat di Topoyo karena tugas sebagai pendamping desa. Sembari berdiskusi, Alamsyah ke Tobadak tuk mengambil daun pandan sebagai sarana untuk mebuat ketupat bekal kami saat perjalanan. Tak lama kemudian Alamsyahpun Kembali, diskusi makin menarik tanpa tema, bebas merdeka membahas apa saja. Alamsyah Hikmawan dan Sukriadi membuat ketupat dan memasaknya hingga matang. Mata mulai sayu sesekali diantara kami menguap, pertanda rasa kantuk sudah menghampiri. Saya dan Hikmawan menuju kamar tamu rumah Alamsyah, sukradi, Rahmat, Alamsyah, Muhlis dan Ashari masih berdiskusi. Mungkin diantara mereka ada yang tembus hingga pagi.

Pukul 09.00 kami berangkat menuju dusun Karama, Kecamatan Pangale, Kabupaten Mamuju Tengah, kediaman Sapri Jahar salah satu senior di GP Ansor, kami disambut di pondoknya yang sederhana, berdinding papan dan beratapkan Rumbia. Di ruang tengah, lantai bambu tempat yang nyaman untuk tidur, sebab angin berhembus lewat pintu belakang dan jendela rumah tersebut. Di Rumah Sapri Jahar atau yang akarab disapa Olle, Mursalim dan Musdianto sudah lama menunggu kami. Mursalim adalah senior PMII dan GP Ansor Polewali Mandar. Ia berangkat dari Polman ke dusun Karama dengan sepeda motornya.

Olle menjamu kami makan siang dan makan malam, usai makan, Olle bercerita, memberi kami wejangan tentang pensucian diri. Menjaga hati agar tetap bersih, hindari prasangka buruk dan mengaplikasikan dengan perbuatan-perbuatan yang baik, itulah makna sesungguhnya pembersihan lahir dan batin pada diri. Selain itu, ilmu yang sangat mendasar, namun luas makna adalah salah satu warisan leluhur nenek moyang yang menghuni ribuan tahun silam tanah pusaka Manakarra.

Terlihat rombongan Ekspedisi Alam Raya sedang makan malam di rumah Sapri Jahar.

Sampaga Pradaban Tertua di Indonesia

Diskusi maki asik saat membahas tentang rute perjalanan tujuan batu ukir—salah satu maha karya yang bisa jadi serpihan gerbang perdaban Sampaga. Hidangan racikan kopi ala Musdianto membuat diskusi melebar hingga ke perdaban Nusantara Kutai Kartanegara Kalimantan. Batu Raksasa yang terdapat di pedalaman sungai desa Campaloga, Kecamatan Tommo, Kabupaten Mamuju itu, ditandai dengan ukiran-ukiran makna simbolistik. Selain itu bercerita tentang banyaknya goa yang terdapat di pedalaman desa itu, menyeret keyakinan bahwa Sampaga salah satu peradaban tertua di Indonesia bahkan Dunia. Namun semua itu, tentu dibtuhkan penelitian yang mendalam oleh para ahli arkelogi Indonesia, untuk meneliti lebih jauh mengenai situs batu ukir, goa serta patung-patung yang terdapat di dalam goa tersebut.

Perdaban Sampaga salah satu peradaban martim terbesar di masa lampau, yang pernah dimiliki tanah Sulawesi. Hal tersebut ditandai dengan dietmukannya sebuah Arca Sampaga.

Dalam tulisan louie Buana di Lontaraprject.com mengulas tentang penemuan sebuah arca Budha yang berasal dari abad ke-2 Masehi yang ditemukan di Sikendeng, kecamatan Sampaga, Kabupaten Mamuju,  Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 1921. Patung tersebut berwujud seorang Buddha yang mengenakan jubah selempang di pundak kiri, lekukan pada kainnya dibuat sedetail mungkin. Secara ikonografi, langgam arca ini jelas menunjukkan gaya Amarawati dan sejatinya berasal dari India Selatan. Penemuan arca berbahan perunggu yang sejauh ini menjadi artefak Buddha tertua di Indonesia, merupakan titik penting dalam mempelajari sejarah awal peradaban Sulawesi Barat.

Dari temuan Arca Sampaga tersebut, tentu terbantahkan bahwa Kutai Karta Negara adalah peradaban tertua di Indonesia. Masih Louie Buana dalam ulasannya mengatakan, Kutai Karta Negara ditemukannya tujuh buah Yupa—batu bertulis yang berfungsi sebagai tempat untuk mengikat hewan kurban. Yupa yang ditemukan di Muara Kaman, tepi Sungai Mahakam ini ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta.  Menurut Louie Buana, gaya tulisan Pallawa inilah kemudian dapat disimpulkan bahwa Yupa tersebut berasal dari abad ke-5 Masehi, dan kemungkinan agama Hindu masuk melalui India Selatan. Aksara Pallawa merupakan aksara yang lazim digunakan di India Selatan.

Negeri India Selatan tempat arca Budha Sampaga dan inspirasi awal peradaban Kutai berasal. Amarawati ialah sebuah daerah di India Selatan yang terkenal karena memiliki sekolah seni rupa. Amarawati menjadi pusat kebudayaan dan pemerintahan kerajaan Satavahana (Andhra) yang pengaruhnya menyebar ke Sri Langka sekitar tahun 230 SM hingga 220 M. Sekolah seni rupa ini telah menghasilkan banyak sekali patung-patung Hindu dan Buddha yang tersebar di berbagai penjuru Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Ketinggian cita rasa serta seni karya yang dihasilkan oleh alumnus-alumnus Sekolah Seni Amarawati sejak abad ke-3 SM ini menghasilkan karya-karya yang secara umum memiliki ciri-ciri seperti pose nan rumit, figur tubuh yang dipahat dengan langsing dan elegan, serta detail lekukan yang mengagumkan. Karya-karya yang bersumber dari Amarawati juga sering menggambarkan Buddha dalam bentuk symbol—bukan sosok manusia—seperti melalui lambang purnakumbha, teratai, takhta yang kosong, serta Swastika. Ternyata, arca Buddha tipe Amarawati juga dapat kita temukan di Sikendeng, Jember provinsi Jawa Timur dan di Bukit Siguntang provinsi Sumatera Selatan. Walau tetap saja arca Sampaga berusia lebih tua daripada yang lain.

Dusun Sikendeng tempat ditemukannya patung perunggu Buddha dari sekolah seni Amarawati juga terletak di pesisir pantai Sulawesi Barat. Pesisir ini tepat berseberangan dengan lokasi yang dipercaya sebagai Kerajaan Kutai kuno. Apakah pernah ada hubungan yang terjalin antara kerajaan Kutai dan Bumi Manakarra?

Arca Sampaga yang di temukan di Sikendeng, menjadi unik karena merupakan satu-satunya arca Buddha yang terbuat dari bahan perunggu yang ditemukan di Indonesia. Arca Buddha Dipangkara kini disimpan di Museum Nasional dengan Nomor Inventaris 6057. (Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Kemunculan Kutai sebagai sebuah kerajaan tidak terlepas dari lokasinya yang istimewa. Kutai telah menjalankan perdagangan asing dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya, bahkan hingga ke India dan Cina. Permintaan akan emas dari tempat-tempat jauh seperti kemaharajaan India dan kekaisaran Cina membuat kekayaan emas yang dikandung oleh kerajaan ini dicari-cari.

Prasasti yupa menyebutkan bahwa Raja Mulawarman yang murah hati telah menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada golongan Brahmana sebagai kurban upacara keagamaan di tempat suci Waprakeswara. Sapi-sapi tersebut didatangkan dari luar Kerajaan Kutai karena daerah di sekitar Kutai kebetulan tidak menghasilkan hewan jenis ini. Apakah mungkin asalnya dari Bumi Manakarra? Yang jelas, sampai hari ini pun di daerah sekitar situ kita masih dapat menemukan penduduk Pitu Ulunna Salu yang menganggap kerbau sebagai hewan yang penting dalam ritual adat mereka. Di daerah tersebut kerbau merupakan hewan terbaik yang digunakan sebagai persembahan kepada dewata. Lagi pula, dalam agama Hindu yang dianut oleh kerajaan Kutai, sapi merupakan binatang yang suci, sehingga untuk dibunuh pun tidak boleh. Apakah yang dimaksud Yupa hewan kurban tersebut adalah kerbau?

Apakah Suku To Makki—suku yang hilang penyebutan masyarakat Kalumpang—yang terdapat di Kecamatan Kalumpang dan Kecamatan Bonehau Kabupaten Mamuju juga erat kaitannya dengan bekas suku perdaban Sampaga yang juga erat kaitannya dengan Kutai Karta Negara ?

Selain itu, tenunan khas kain Sekomandi Kalumpang dan Bonehau sebagai salah satu tenun tertua di Dunia juga menjadi warisan seni peradaban Sampaga?

Pakean adat Kalumpang atau Suku To Makki dan Tenunan Kain Sekomandi yang menjadi ikon Provinsi Sulawesi Barat. (Foto; Net)

Pakean adat Kalumpang yang terbilang agung dan mewah itu, menandakan suku tersebut salah satu suku dari kerajaan perdaban Sampaga yang mashur di masa lampau. Keunikan pakean adat kalumpang yang berwarna hitam dan merah itu, terdapat mahkota berlambang tanduk kerbau di kepala, di mana juga terdepat dua tanduk kerbau melekat permata hijau dan merah. Ukiran pada baju, terdapat manik kerang laut yang dilekatkan menjadikan baju adat tersebut terlihat mewah. Padahal Kalumpang salah satu wilayah yang mendiami pegunungan Mamuju.

Pada peta Dunia Negara bagian Managaskar Afrika Selatan terdapat kota bernama Manakara. Juga terdapat salah satu prvinsi Pampanga di Negara Philipina. Apakah kota Manakara memilik kaitan dengan Manakarra Kabupaten Mamuju Sulbar. Bgitu juga Pampanga di Negara Pilipinha juga memiliki keterikatan dengan dengan peradaban Sampaga di Provinsi Sulbar?. Lagi-lagi ini semua hanya sambung menyambungkan butuh referensi lain pada penilitan untuk menjangkau keterkaitan Perdaban-perdaban d Dunia.

Pada referensi lain sebuah buku Eden In The East Surga di Timur itu menyebutkan induk peradaban manusia modern bukan bersal dari mesir, bukan dari mediterania dan juga bukan dari Mesopotamia dan juga bukan dari barat apa lagi China. Tetapi perdaban manusia modern itu bersal dari Indonesia.

 

Bertemu Sang Penghuni Goa

Waktu menunjukan pukul  01.00 menandakan kami harus istirahat untuk mejaga stamina yang akan menempuh perjalanan sekitar 60 Kilo dari Karama ke Desa Campaloga, Kecamatan Tommo. Kendaraan roda empat mini yang kami tumpangi cukup membawa kami ber-enam, Hikmawan sebagai supir, Sapri Jahar duduk di depan samping supir, sedangkan saya, Almasyah, Mursalim, Sukriadi dan Musdianto duduk di tengah dan belakang mobil. Sedangkan Ashari mengendarai sepeda motor Mursalim.

Pukul 10.47 tiba di salah satu warung—tepat berada di depan Polsek Tommo. Dua orang Polisi lagi asik ngopi, bercerita kepada kami tentang rute Batu Ukir. Dari Desa Campaloga ke batu ukir menempuh jalan kurang lebih 10 kilo, melewati hutan dengan jalan yang terjal dan mendaki serta menyebrangi sungai. Kedua anggota Polsek Tommo itu memberi saran untuk menemui Pak Basirun, sebagai mata jalan menuju batu ukir. Selain pak Basirun sebagai juru kunci menuju Batu Ukir, juga ada bapak Peby.

Paman Ashari mengantar kami kerumah bapak Peby pada pukul 12.00. Rumah bapak Peby memiliki gerbang mirip gerbang kerajaan. Kami lama bercerita dengan bapak Peby sang penghuni goa—sembari menjamu kami kopi. Ia bercerita, hingga alam gaib dan penghuni mahkluk gaib yang terdapat di Goa dan Batu Ukir. di goa yang angker itu, ia gunakan sebagai tempat peristirahatannya dan bertapa—sebutuan lain bersemedi atau tafakkur. Menurut bapak Peby, mereka—Mahluk gaib—penunggu Goa dan Batu Ukir tak menganggu jika para pengunjung, hatinya bersih dan menjaga tatanan adat. Dikalau sebaliknya, mereka akan marah dan petaka akan menimpa pengunjung bahkan nyawa melayang. Sudah beberapa kali terjadi, orang yang berkunjung hilang, hingga saat ini tak kembali, ada juga yang meninggal, sakit dan lain-lain.

Ia bercerita dan menunjuk pua bija—yang kebetulan juga berada di rumah Bapak Peby—korban pukulan makhluk gaib saat berkunjung di goa, karena tidak menjaga tatanan adat. Pua Bija kemudian di hantam lengan kanan, lutut hingga bahu yang membuat pua bija harus di tandu pulang kerumahnya. Pua Bija nyaris tak terselamatkan, beruntung pua bija memilik ilmu sakti warisan leluhurnya. Ber bulan-bulan ia terbaring dengan kondisi badan remuk. Hingga saat ini benjolan di tubuhnya masih berbekas. Pua Bija terbilang jawara di kampung itu, tak ada rasa takut terlihat pada dirinya. Bapak Peby menjadi pendududk Tommo setelah menikah dengan penduduk Tommo—istrinya saat ini—ia berpesan untuk tetap menjaga dan melestarikan tatanan adat di kampung, baik itu di batu ukir maupun di tempat lain. Menurut bapak peby di sekitar batu ukir ada kampung yang di huni 250 KK. Ia adalah penduduk pedalaman. Istilah local Sulbar to Pembuni.

Namun sayang Bapak Peby tak bisa mengantar kami. Ia memiliki kesibukan yang sudah terikat janji dengan orang lain. Kami diarahkan kerumah keluarganya Bapak Basirun (65 Tahun) atau yang akrab disapa pua cambang sang Rambo.

Ya pak Basirun ia di beri julukan Rambo karena ia mampu menyusuri hutan hingga ke gunung Sandapang tanpa alas kaki. Berbagai rintangan hewan buas ia hadapi. Ia tak ada rasa takut, seakan-akan ia sudah bersahabat dengan alam. Bahakan bersahabat dengan makhluk gaib penunggu goa dan batu ukir. Kakinya terlihat lebar, pertanda dirinya tak pernah, atau jarang mengenakan sepatu. Betisnya besar rambut dan kumisnya panjang, cambang dan janggut memutih lebat pada wajahnya.

Kami di rumah Pak Basirun pada pukul 13.30. Pak Basirun juga adalah kakek Ashari. Ia bersepupu 2 kali dari Kakek langsung Ashari yang di gelar Puanggawa Kayyang di Salumanurung Kecamatan Topoyo Kabupaten Mamuju Tengah. Pak Basirun menjadi mata jalan bagi kami, menuju batu ukir. Kami di jamu kopi dan kue roti isi kelapa parut di campur gula merah. Sepupu Ashari bernama Zul juga ikut Ekspedisi Alam Raya, jadi kami berjumlah sepuluh orang yang akan berangkat menuju jejak serpihan peradaban Sampaga Batu Ukir.

Kami meninggalkan rumah pak Basirun, desa Campaloga Kecamatan Tommo, pada pukul 15.15 Minggu, 18 November 2022. Berjalan kaki menyusuri hutan dan sungai, beberapa diatara kami mengenakan jaket Banser. Kami berjalan kaki membawa ransel dan bekal di perjalanan. Pak Basirun tak beralas kaki, ia sudah terbiasa. Seakan batu cadas, krikil tajam dan duri serasa malu melukai kaki pak Basirun.

Hampir dua jam kami jalan kaki. Nafas terhenggal-henggal dan sesekali kami berempat beristirahat mengambil nafas. Sedangkan Pak Basirun, Sapri Jahal, Sukriadi, Hikmawan, Musdianto dan Zul berada paling depan. Petanda fisik meraka kuat.

Perjalaan menuju Podok pak Basirun.

Bintang Gemerlap Menyapa Pondok di Hutan Belantara

Pukul 17.12 Tiba di Pondok Pak Basirun, kami beristirahat menetralkan kembali tenaga yang terkuras sembari menatap alam yang di kelilingi gunung yang tinggi. Di sebelah utara pondok pak Basirun, terdapat air terjun. Saya, Mursalim, Sukriadi, Musdianto dan Ashari menuju air terjun, kami mandi disana. Pak Basirun memandikan kami. Ia membaca mantra sebagai azimat penjaga diri. Waktu menunjukkan pukul 18.00 pertanda shalat magrib akan segera kami laksanakan. Kami mendirikan shalat magrib secara berjamaah di alam terbuka beralaskan terpal berwarna biru. Musdianto mengumandankan Adzan, Sapri Jahar bertindak sebagai imam. Usai shalat, kami berzikir melantukan shalawat kepada Nabiullah Muahmmad SAW. Nabi Muhammad Sang Permata Hati adalah satu-satunya pintu Allah. Bersholawat kepadaNnya agar berharap mendapatkan rahmat, hidayah, kasih dan sayangnya—dalam bahasa Mandar Pammase—agar dapat menjadi golongan pengikut Rasulullah Muhammad SAW.

Suasana di Pondok Pak Basirun

Jutaan bintang dilangit ikut menjadi saksi, pohon-pohon tinggi menjulang, suara merdu jangkrik dan kicauan burung, kunang-kunang beterbangan dengan kedipan cahayanya, seakan alam raya ikut bergembira mendengar dan melantunkan gema zikir dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW sang kekasih Allah. Seperti kutipan ayat pada surat Al-Ahzab ayat 56.

Peradaban Sampaga dan Nusantara

Usai zikir dan bershalawat, kami tak langsung beristrihat. Tenaga kami kembali stabil, terpulihkan dengan lantunan zikir dan shalawat. Kami kembali berdiskusi usai Sapri Jahar memberi wejangan kepada kami. Diskusi tentang kelanjutan Peradaban Sampaga dan Nusantara. Sampaga dan Nusantara adalah peradaban kembar di masa lampau. Sampaga mendiami pulau sulawesi dan Nusantara mendiami pulau kalimantan. Nusantara adalah peradaban sebelum kerjaan Kutai Karta Negara berdiri.

Samarinda digelari Yaqut atau permata Hijau sedangkan Sampaga disebut Marjan (Permata Merah). Selain itu, daratan Sampaga atau sungai muara sungai Karama, Sampaga sangat dekat dengan muara sungai mahakam Kalimantan. Sebagai titk balik pertemuan dua sungai dan dua samudra yaitu samudra fasifik dan samudra hindia.

Dalam Q.S Arrahman ayat 22 dan 58, apa ada hubungannya dengan Sampaga dan Nusantara? Bisa jadi bisa tidak. Dibutuhkan penilitan yang mendalam untuk mengungkap tabir sang penjaga rahasia alam semesta.

Shalat berjamaah di lanjut lantunan Dzikir dan Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Ataukah Sampaga dan Nusantara adalah perdaban Atlantis atau Peradaban Lemuria yang hilang itu,?

Sebuah artikel yang di tulis oleh Jeky yang tayang di portal mediaekspres.id menceritakan tentang sebuah kota yang hilang, peradabannya sangat maju sekitar 10.000 tahun lalu. Bahkan tidak kalah majunya dengan peradaban hari ini. Cerita tentang Atlantis pertama kali muncul saat sedang berlangsung dialog seorang filsuf yunani kuno bernama Plato dengan Timaeus dan Critias pada 360 SM.

Hasil dialog Plato dengan Timaeus dan Critias dituangkan dalam bentuk buku yang menceritakan tentang kota yang hilang sekitar 9.000 tahun, sebelum Plato sendiri lahir. Nama kota itu Atlantis. Plato mengatakan dalam tulisannya, kota Atlantis dikelilingi laut, gunung-gunung dan alam yang indah, serta hewan-hewan yang eksotis. Plato juga mengatakan, di kota Atlantis teknologi sudah sangat maju, bahkan tidak kalah majunya dengan teknologi yang ada sekarang. Sehingga, struktur manusia yang berada di kota Atlantis hidup dalam keadaan damai dan tentram.

Penggambaran Plato tentang kota Atlantis sangat detail sekali, sampai pada bentuk struktur bangunan dan pada kondisi manusianya. Hal ini menarik perhatian para saintis, sejarawan serta arkeolog untuk mencari tahu keberadaan dan letak kota Atlantis, yang menurut Plato  tenggelam oleh peristiwa alam. Bahkan, ada teori yang mengatakan bahwa Atlantis terletak di Indonesia. Atau Indonesia sendiri adalah Atlantis atau Sampaga bagian dari Alantis karena banyaknya kesamaan sruktur alam yang digambarkan oleh Plato.

Batu Ukir dan Goa Jejak Peradaban Sampaga yang Hiang

Pintu masuk Goa dan Ruangan Goa.

Tak terasa malam mulai larut sudah menunjukkan pukul 13.00 tiba saatnya untuk istirahat, jutaan bintang yang berkilauan di langit luas perlahan muai redup. Kami beranjak menuju pondok Pak Basirun untuk mengambil posisi tidur. Saya, Hikmawan, Mursalim dan Sukriadi tidur di terpal. Karena cuaca semakin dingin kami beranjak naik ke pondok untuk tidur. Mentari sudah mulai memancarkan sinarnya. Pak Basirun terlihat sibuk di dapur, memasak air dan nasi untuk sarapan kami. Sebelum kami beranjak ke tujuan.

Usai sarapan kami beranjak, pada Senin, 18 Desember 2022. Namun sebelum itu, tentunya kami berpose di bawah tiang bambu bendera NU yang berkibar. Satu persatu langkah kaki kami ayunkan, dengan semangat pagi yang membawa kedamaian hati. Melawati bukit, sungai dan hutan. Pak Basirun dan Sapri Jahar berada paling depan. Tak ada penat, maupun nafas yang terhenggal-henggal terlihat di wajah mereka.

Kami tiba di goa pertama, sekitar pukul 10.00. Goa tersebut tempat Bapak Peby bertapa. Tempat tidur dan meja terbuat dari papan. Tentu bapak Peby yang membuatnya untuk di tempati istirahat. Di depan ada air menetes terus menerus hingga ember yang ada di bawahnya di penuhi dengan air. Konon menurut bapak Basirun, air tersebut obat segala macam penyakit. Kami satu persatu meminum air yang menetes itu, serta kami gunakan untuk berwudhu membesihkan diri, karena sebentar lagi kami akan berzikir dan melantukan Shalawat kepada Muhammad SAW di dalam goa yang gelap gulita itu. Cahaya senter dan lampu handpone menjadi penerang dalam kegelapan. Sebelum memulai zikir, Sapri Jahar membakar kemenyang sebagai syarat menebar wangi tradisi leluhur yang hingga saat ini masih lestari. Berharap Pammase Perlindungan do’a keselamatan dunia dan ahirat.

Usai melakukan lantunan zikir dan shalawat, kami melanjutkan menuju goa yang kedua. Melintasi hutan bukit serta jalan yang licin. Saat tiba di goa itu, ada bunyi gong seakan-akan kami disambut penunggu gaib goa ini. Terlihat puluhan patung bejejer yang sudah tak berbentuk, disebabkan usia yang mungkin mencapai ratusan tahun dan bahkan ribuan tahun lamanya. Menurut pak Basirun, Goa tersebut juga di huni ular yang panjangnya capai sembilan meter. Di sebelah atas goa, ada ruangan yang luas dipenuhi kelelawar. Namun goa tersebut udaranya dingin serasa berada di hembusan ac. Patung-patung yang tersusun itu, menimbulkan bunyi yang nyaring ketika di pukul.

Kami mengabadikan goa ini. Patung-patung sebagian di bungkus kain berwarna kuning dan putih. Usai mengabadikan gambar, kami beranjak menuju batu ukir. Pukul 14.00 hari Senin siang itu, terasa cerah sekali, kami berjalan tertatih-tatih, serasa tenaga sudah tak ada lagi. Betis dan telapak kaki, berdenyut kesakitan. Suara perut mulai keroncongan, lapar dan haus menghampiri. Kami meminum air sungai, untuk melepas dahaga. Sepanjang jalan bongkahan batu akik berwarna berjejeran. Kami hanya memegang dan melihat-lihat, kami tak mengambilnya sebab tak ada tenaga untuk membawa bongkahan batu akik itu.

Tiba di batu ukir, serasa berada pada masa lampau di zaman kerajaan. Meski tak pernah mengalami, namun ibarat sebuah film Journey 2 The Mysterious Island 2012. Sebuah film yang menggambarkan istana peradaban atlantis yang hilang. Film yang disutradarai oleh Brad itu melakukan perjalanan menuju sebuah pulau misterius di Atlantis. Untuk menuju pulau tersebut, harus bertemu dengan hewan-hewan buas yang sangat berbahaya dan siap memangsa.

Batu yang besar raksasa terukir cantik sebagai simbol, isyarat beragam makna. Mungkin juga pada ukiran batu tersebut adalah tulisan ala Peradaban Sampaga, namun sudah rapuh dan terkikis karena usia. Juga terdapat ukiran per segi empat yang tersusun. Dibtuhkan skil dan keterampilan khusus untuk mengukir batu raksasa itu. Dan bisa jadi batu ukir tersebut, bagian dari seripihan istana Peradaban Sampaga yang hilang.

Batu Ukir

Waktu mulai menunjukkan pukul 16.00 petanda kita harus segera beranjak menuju Desa Campaloga. Namun sebelum itu Alamasyah selaku senior kami dan juga mantan sekretarsi PW GP Ansor Sulbar, memberikan jaket Bansernya kepada pak Basirun sebagai kenang-kenangan bahwa banser Mamuju dan Mamuju Tengah pernah mencapai dan melihat langsung warisan peradaban Sampaga. Usai memberikan jaket Banser kepada pak Basirun. Pak Basirun memberi kode dan mengetahui bawah kami semua dalam kondisi lelah dan lapar. Ia beranjak duluan memotong jalan lewat gunung. Kami mengikutinya. Ia berjalan sangat cepat, ia memberi kami kode penunjuk jalan dengan patahan ranting kayu. Jalan yang mendaki puncak gunung, serta terjal, jurang kami lalui. Sedikit salah melangkah, maka salah satu diantara kami akan jatuh ke jurang yang dalamnya mencapai ratusan meter.

Tiba di pondok pak Basirun, kopi dan uby kayu matang sudah tersedia. Kami membersihkan badan dan mengganti pakean serta merapikan barang bawaan untuk persiapan menuju desa Campaloga dan berangjak pulang.

Senin pukul, 20.00 usai shalat Isa, kami meninggalkan rumah Pak Basirun. Kami berpamitan satu persatu dengan tuan rumah termasuk pua Bija. Kami ber tujuh menaiki mobil Alamsyah. Sesekali kami berkata. Bahkan hampir tak ada percakapan, semua meresapi tubuh lemah lunglai. Ashari dan Zul naik sepeda motor. Tiba di jalan poros kami berpisah dengan Mursalim. Mursalim harus berangkat ke Polewali Mandar. Sebab agenda yang ia sudah jadwal  tertinggal. Dikarenakan perjalanan kami tidak sesuai dengan ekspektasi. Kamipun berpamitan dengan kak Mursalim. Saya, Alamsyah, Sapri Jahar, Hikmawan Musdianto dan Ashari beranjak menuju rumah Musdianto di Karama. Kami nginap di rumah Musdianto dan besok pagi Selasa, 19 Desember menuju rumah masing-masing.

Sebelum kami istirahat, kami masih berdiskusi membicarakan hasil yang di dapat dari perjalanan yang melelahkan ini. Sapri Jahar memberi kami wejangan, bahwa apa yang didapatkan dari perjalanan tersebut adalah proses, bukan tujuan. Sebab tanpa proses kami tak akan mampu mengenali diri sendiri seberapa kuat diri ini mencapai tujuan yang tidak sesuai dengan ekspestasi.

Demikian artikel ini ditulis. Nantikan artikel selanjutnya pada Ekspedisi Alam Raya 2 di Kampung anda.

Penulis: Muhammad Iksan Hidayah (Wakil Ketua Lakpesdam NU Sulbar yang juga Alumni PKN VII GP Ansor)

Comment