Sekitar pukul 03.00, sebelum ayam berkokok,
mereka–para petugas kebersihan–bangun dari tidurnya, mengambil senjatanya (sapu bulu dan sapu lidi) beranjak dengan sepatu Laras ia berperang dengan kotor, senjatanya ampuh membersihkan sepanjang jalan kota Mamuju.
Satu persatu sampah ditumpuk, dijemput mobil truck kuning. Petugas kebersihan yang ada di mobil turck itu, mengangkut sampah yang tersedia di tong sampah di depan rumah warga.
Tak ada yang disisakan, semua di babat abis. Berbagai macam aroma sampah bercampur, tak ada yang dapat menebak aroma apa itu, karena sudah ragam aromanya. Tentu menyengat hidung. Dua lapis masker masih terasa aromanya, tak ada aroma wangi parfum di truck sampah itu.
Namun tidak bagi para petugas kebersihan, tak pakai maskerpun tak apa, karena sudah terbiasa.
Petugas kebersihan adalah pahlawan, ia bersahabat dengan sampah. Berjasa terhadap kota ini, menguras banyak tenaga demi terwujudnya kebersihan di daerah malaqbi ini.
Sampah, Kotor, bau, tak dapat digunakan lagi, dan tidak ada gunanya, itulah deskripsi kebanyakan orang tentang sampah. Mungkin pemerintah Mamuju dan Sulbar anggap juga begitu.
Namun sesungguhnya tidak, sampah adalah emas, mendatangkan kebahagiaan jika dikelola dengan baik. Sebab makna kebahagian bukan terletak pada keberadaan harta benda. Melainkan pada cinta kasih. Bekerja karena cinta maka kita akan menemukan kebahagiaan, pekerjaan apapun itu.
Sampah itu sendiri adalah bahan yang berupa benda padat atau cair yang sudah tidak dipergunakan lagi atau dibuang, disetiap penampungan sampah baik itu yang ada di depan rumah maupun yang ada di TPA (Tempat Pemrosesan Ahir) pasti ditemukan sampah cair atau padat, berupa palastik, botol minuman, alumunium, besi, kertas, kaleng dan lain sebagainya.
Menyentil hal pengelolaan sampah, khususnya yang ada di Kabupaten Mamuju itu sangat dipandang perlu. Apalagi dalam sejarah pertumbuhannya pernah menjadikan kata “Mapaccing” (dalam bahasa Mamuju artinya Bersih) sebagai slogan daerah.
Memang kewajiban para petugas kebersihan tidak bisa kita nafikkan buah hasilnya sejauh ini. Untuk menyaksikan aksi mereka, tak butuh susah payah. Tiap hari mereka menjemput tumpukan sampah yang ada didepan rumah-rumah warga dalam kecamatan yang berada dipusat kota.
Namun perlu diketahui bahwa di Kabupaten Mamuju–sejak mulai mekarnya provinsi sulawesi barat tahun 2004 sekaligus didaulatnya kabupaten Mamuju sebagai ibukota provinsi– ada sebelas kecamatan. Dari sebelas kecamatan hanya dua kecamatan yang masuk tataran pusat kota.
Ternyata masih terdapat sembilan kecamatan yang belum terjangkau uluran tangan para petugas kebersihan Kabupaten Mamuju yang dibawahi langsung oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK).
Tentunya ini perlu jadi bahan evaluasi untuk pemerintah kabupaten Mamuju.
Fenomena ini tersembunyi dibalik semangat luar biasa mereka yang rela harus mengucurkan banyak keringat dan menghilangkan rasa jijik demi terangkutnya sampah masyarakat keatas “armada” (Istilah truk pengangkut sampah).
Apakah spirit Mamuju “Mapaccing” kini sudah tinggal kenangan..? Ataukah hanya sebatas euforia periodesasi pemerintahan…? Tentu tanpa mengcover nasib kebersihan kecamatan diluar pusat kota, istilah “Mapaccing” hanya akan jadi dongeng belaka. Semoga tidak berlarut-larut.
Diluar dari fenomena pengangkutan sampah yang tiap hari nampak didepan rumah warga kecamatan pusat kota, ternyata ada yang perlu dijadikan titik fokus bagi mereka para pemerhati lingkungan. Tentunya masih perihal pengelolaan sampah.
Perlu diketahui bahwa Kabupaten Mamuju selama ini hanya memiliki satu Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang diharap mampu menjadi solusi pengelolaan sampah bagi seluruh kecamatannya.
Berdasarkan PERDA Kabupaten Mamuju No. 2 Tahun 2017 tentang pengelolaan sampah dijelaskan bahwa fungsi dari TPA adalah tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan dengan aman. Namun kondisi “TPA Adi-adi” (istilah akrabnya) yang berada disalah satu kecamatan ibu kota provinsi ini belum berfungsi sebagaimana harusnya.
Padahal pengelolaan sampah yang seharusnya dimaksud terdiri dari “pengurangan sampah” dan “penanganan sampah”. Ini dijelaskan dalam bab V, pasal 10, PERDA Kab. Mamuju No. 2 Tahun 2017.
Jika diuraikan lagi “pengurangan sampah” meliputi kegiatan pembatasan timbulan sampah (reduce), pendauran ulang sampah (recycle), dan pemanfaatan kembali sampah (reuse), sedangkan “penanganan sampah” meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah masing-masing dijelaskan dalam bab V pasal 11 dan 15.
Sejak dibukanya “TPA Adi-adi” tersebut kurang lebih sebelas tahun yang lalu sampai hari ini hanya berfungsi sebagai tempat penumpukan sampah. Pengelolaan sampah yang diharap justru hanya masih menjadi angan-angan belaka. Bahkan upaya meminimalisir tumpukan sampah yang tiap hari bertambah dari awalnya dibuka (TPA Adi-adi) hanyalah ditimbun dan diratakan dengan tanah.
Itu berarti kuota tanah dan sampah yang ada disana sangatlah bersaing ketat.
Belum lagi jikalau sampahnya berjenis plastik yang butuh ratusan tahun untuk diurai oleh tanah. Lemahnya kuota tanah menjadikan tanah tidak terlalu mampu menyerap air, jikalau dilanda hujan, sehingga dapat mengakibatkan banjir dan bahkan berujung longsor.
Bayangkan selama bertahun-tahun hanya solusi inilah yang dilakukan bagi pemangku kebijakan terkait. Dalam sudut pandang penulis, ini merupakan salah satu solusi.
Entah bagaimana menurut sudut pandang para pembaca. Semoga bukan solusi.
Disisi lain kondisi geografis lokasi (TPA Adi-adi) terletak pada dataran tinggi. Bahkan tak terlalu jauh dari lokasi penumpukan sampah, juga terdapat sungai yang alirannya bermuara disalah satu kanal pusat kota.
Kondisi ini dapat menjadi potensi ancaman baru jika pengelolaan sampah (TPA Adi-adi) tidaklah maksimal. Tentu untuk lebih memaksimalkannya pengelolaan sampah juga dibutuhkan pengaktifan Tempat penampungan sementara (TPS), dan Tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) sebagaimana diatur dalam PERDA Kab. Mamuju No. 2 Tahun 2017.
Selain dari itu, jika berkesempatan juga meluangkan waktu berkunjung dilokasi (TPA Adi-adi) pastilah akan berjumpa dengan beberapa fasilitas bangunan yang seharusnya sebagai tempat proses pengelolaan sampah, tapi justru hanya menjadi sarang laba-laba dan gulma.
Juga terdapat beberapa petak kolam yang diharap sebagai media penyaring limbah cairan tumpukan sampah yang kian mengalir jika dihantam guyuran hujan justru nampak seperti tak terurus.
Tentu dalam hal ini DLHK seharusnya menjadi penanggung jawab penuh dalam pengelolaan sampah di daerah, bukan hanya menjadi penanggung jawab penjemputan sampah didepan rumah warga.
Jika terus-terusan soal kurangnya tenaga ahli, mesin pengelolaan sampah, armada pengangkutan sampah, bahkan soal anggaran, atau sarana – prasarana lainnya yang menjadi alasan. Pertanyaannya mau sampai kapan seperti ini…?
Semoga Pemerintah Kabupaten Mamuju hari ini mampu membaca secara utuh masalah mengenai kurang maksimalnya pengelolaan sampah yang ada di daerahnya.
Pastilah bisa memprioritaskan hal ini untuk dicarikan solusi. Kecuali memang pemerintahan saat ini sama seperti pemerintahan sebelum-sebelumnya yang Buntu (‘Buta dan Tuli’) terhadap masalah pengelolaan sampah.
Penulis : Refli Sakti Sanjaya
(Ketua Bidang Humas & Advokasi MPA Cakrawala Manakarra)
Editor : mediaekspres.id
“Satu sampah yang kau buang ke tempatnya, akan menyelamatkan seluruh alam semesta”
NN
Comment