Kisah Sang Kakek, Anggota Banser Tahun 1960-an di Majene Melawan PKI

MAJENE, MEDIAEKSPRES.id – Tak lama lagi senja mulai tenggelam. Di rumah yang sederhana, kami mengetuk pintu. Di tempat duduk anyaman bambu, tidak sabaran ingin segera menemui dan mencium tangan sang kakek yang sudah di usia senja itu. Jawaban salam di balik tirai terdengar, sang kakek  berjalan perlahan mengenakan topi koboy putih menutupi putih rambutnya, baju batik serta sarung ia kenakan. Terpancar bahagia di balik kulit keriput yang menuai, nafas yang tersenggal-senggal menyapa kami dengan tulus kasih, beri harapan mengulas jejak kisah yang bersejarah sebagai anggota Banser pada tahun 60-an di bumi Assamalawuang.

Dari Alu Menuju Sendana

“Kring-kring-kring” Kutarik ponselku dari saku celana jeans ku merk levis, bukan original. “Halo kanda, Mua’ Indani Tau Sibuq, Mala Ai Tau Leppang di Majene Kota, Sikareppe Stadion Boyanna, anggota Banser tahun 60-an. Yaa Silaturrahim Mirau Barakka, Wawancarai Tomi, Anna Muberitakan I,” perintah salah seorang sahabat anggota Banser di Mamuju. Mendengar cerita dari sahabat saya di Mamuju itu, rasa penasaran hadir ingin segera menemuinya. Sayapun bergegas menuju Majene dengan sepeda motor mio matic.

Deras air mengalir sungai Mandar, tersenyum melintasi bebatuan, ibarat membawa kuatnya rindu pada pertemuan dengan air laut di muara. Seperti saat ini, beranjak dari Desa Saragian, Kecamatan Alu, Polewali Mandar menuju Kota Majene menemui sang Kakek 79 tahun di Kampung Baru kota Majene.

Beberapa anggota Banser berpose bersama, tahun 1963-1966, mengenakan seragam banser motif seragam Banser tempo dulu, terpajang di rumah sang kakek. (Foto: Dendi)

Perlahan genggaman gas sepedar motor kukuatkan, menyusuri pepohonan rindang sepanjang jalan dan berlubang — tempat berteduh bagi petani pejalan kaki ketika hendak pulang, dikala terik mentari dan hujan — dengan sesekali memotong jalan, melewati kebun kakao dan pohon kelapa milik warga Mombi, Kecamatan Alu, Polewali Mandar.

Kufokuskan tatapanku kedepan, untuk menghindari jalan yang berlobang, namun sinaran senja begitu kuat buatku silau, memaksa genggaman stir ditangan kananku perlahan kuturunkan, sembari membuka kaca helm agar silau mentari tak melebar menutup separuh pandanganku. Kurang lebih satu jam jarak tempuh tiba di kota Majene. Sayapun teleponan dengan sahabat Syarli, selaku Sekretaris PC GP Ansor Majene, untuk bersama bertandang kerumah kakek Muhammad Idris.

Comment