Kanda-kanda yang Kadaluarsa

MEDIAEKSPRES.id – “Surat kepada kanda yang urat lehernya sampai timbul tenggelam hanya untuk membantah argumentasi dinda-dindanya.”

Saya ingat sekali kanda, waktu kanda ceritakan bagaimana perempuan yang melawan mesti dipanjangumurkan dan kemudian bagaimana kanda bilang bahwa Indonesia ini sedang butuh untuk revolusi total. Masih saya ingat dengan baik kanda, ketika kanda saya belikan sebungkus mie instan karena hanya itulah kecukupan uang saya selaku mahasiswa yang melihat senior terhormat sedang lapar dan berusaha menyampaikan kode-kode tipisnya.

Namun beberapa tahun berselang saat kanda sudah pakai toga, kanda kini menjadi orang-orang Negara dan dengan ringan sekali berkata pada saya “kau mih yang lanjutkan perjuangan dinda.”

Lalu dengan merasa diturunkan tugas yang amat penting, dinda ini akhirnya menerima seolah sedang di berkati seorang dewa.

Habis manis sepah dibuang. Atau, tidak manis makanya dibuang. Barangkali umpatan kata macam itu cocok dihibahkan kepada para senior organda kampus yang terus bergelora di masa muda, dengan teriakan dan nyala api di bola matanya “menolak lupa!!” kira-kira begitu teriakannya sambil memegang foto Munir, Wiji Thukul atau Marsinah.

Namun, perlu kiranya mengevaluasi diri sendiri. Kita ini sedang menolak lupa atau hanya kebetulan ingat?

Banyak sekali yang mampu memantik ingatan. Entah itu postingan akun media sosial yang masih setia mengunggah apapun yang berbau perlawanan dan kebenaran. Atau ingatan bisa juga dipantik jika ada kader baru organda yang butuh diberikan isi dalam kepalanya — namun itu sekaligus menjadi pelumas untuk meminta nomor ponselnya dan berdiskusi privat di tiap malamnya.

Saya sebut mereka senior kadaluarsa. Senior temporer, revolusioner prematur, aktivis separuh — atau kakanda yang kabur.

Mengapa demikian? Sebab tentu sudah menjadi rahasia umum jika mereka yang dulunya adalah hama-hama buku, mereka yang dulunya selebriti jalan raya, mereka yang dulunya tidak henti berceramah untuk para junior atau dinda-dindanya, justru menjilat ludahnya sendiri. Namun dengan mudah sekali mereka akan berkata “idealisasi berbubah seiring dengan berjalannya waktu dan kebutuhan.”

Apakah semudah itu ia mengeluarkan argumentasi yang sebenarnya hanya sebagai selimut hangat untuk menutupi kegagalananya mewujudkan segala teriakan pada kuping-kuping penguasa? Atau, apakah mahasiswa dan aparat Negara adalah sudah diciptakan sebagai sesuatu yang terus bertolak belakang karena mereka sendiri yang menciptakan hal tersebut?

Jika para senior kadaluarsa berdalih “itulah gunanya diadakan pengkaderan agar kalian yang dikader yang melanjutkan perjuangan.” Apakah perjuangan sebercanda dan selawak ini?

Semestinya, kita para — sebut saja anak baru atau sebut saja para junior — atau para dinda yang terus berlindung di bawah ketiak kakanda semestinya mengevaluasi diri.

Jika dalih-dalih mereka adalah suatu kebenaran dan suatu siklus yang paten, maka berarti di masa depan kita akan bernasib sama? Bernasib sama yang saya maksudkan adalah revolusi dengan sistem “lawan, habis masa, lalu lupakan.”

Ini yang menarik. Senior yang suka baca buku dan mau mempresentasikan apa yang ia baca justru beralih dari wilayah itu. Membaca seburuk itu? Membaca dan berutinitas sebagai orang-orang candu baca dan orang-orang yang bergelut di wilayah ilmu pengetahuan apakah sesia-sia itu?

Maksud saya, kalau bagus, kenapa punya masa? Masa kadaluarsa, masa berhenti dan masa meng-oper kepada yang lain.

Jika siklus itu terus terjadi dan hanya diterima dengan para mahasiswa tanpa adanya permasalahan, maka saya dengan lantang akan mengatakan bahwa kita tidak akan menjumpai revolusi apa-apa. Semua hanya sebatas melempar isu dan saling memainkan isu tersebut untuk saling serang argumentasi dalam forum diskusi, semata membuktikan kefasihannya merapalkan segala ideologi dunia.

Semua yang dilakukan hanya membuang sebagian waktu bernafas untuk main-main sebelum masuk pada dunia pekerjaan, sebelum memakai toga atau sebelum pendaftaran CPNS dibuka.

Apa penyebab hal tersebut? Barang tentu itu adalah karena kenaifan mahasiswa. Mahasiswa yang mau melakukan apa-apa hanya karena dia mahasiswa, bukan manusia. Jadi setelah mahasiswa, seperti sempalan yang lepas dari akarnya. Ini realita!

Lihat saja bagaimana senior kadaluarsa bagaikan sosok yang lepas jabatan. Ideologi yang terus dia bawa dan ia kukuhkan dalam dirinya akan habis masa ketika toga sudah menjadi hiasan kepalanya. Hal ini adalah yang terus dibiasakan.

Sesuatu jika dilakukan berulang-ulang bisa menjadi kebenaran. Maka jika hal ini adalah sesuatu yang sudah dianggap kebenaran, ini akan terus terjadi entah kepada kader keberapa.

Lalu tulisan ini apa? Bentuk kritik atau bentuk kekecewaan? Atau saya merasa rugi mengeluarkan uang untuk membelikan kakanda rokok atau mie instan? Tentu tidak, itu hanyalah bunga-bunga yang dikeluarkan dari dompet untuk mempertahankan kehormatan dalam barisan kemanusiaan.

Lalu, jika tulisan ini dinilai kritikan atau kekecewaan. Maka terserah saja. Kakanda pernah baca tulisan Ali Syariati yang berkata bahwa kritik adalah anak kandung perubahan. Namun tidak, Ali Syariati barangkali tidak lagi terpraktikkan dalam kepalamu saat sebelumnya kau pertahankan ideologi Ali Syariati dan menolak sangat keras kapitalisme yang terus kau teriakkan.

Namun pasca sarjana, kau malah menjadi bagian dari memanjangumurkan sistem yang dulu kau tolak sendiri. Pertanyaan kemudian, ludah keberapa yang sudah kau jilat kali ini?

Lantas bagaimana? Ini kah kanda yang kau sebut “organisasi adalah tempat kuliah ke dua.” Saya percaya dan akhirnya banyak di luar kampus, tapi melihatmu begitu pascasarjana, saya jadi berpikir yang membuatmu begitu karena banyak di luar atau kampusmu dualisme.

Lagipula sekali lagi, kita perlu evaluasi apakah kita hanya mau belajar karena kita mahasiswa? Hanya mau baca buku karena kita mau mematahkan habis argumentasi orang-orang dalam forum? Masihkah kemahasiswaan ini dijadikan sebagai jabatan berkala yang dipenuhi dengan tuntutan pekerjaan seperti baca buku dan diskusi, lalu setelah lulus kita merasa pekerjaan itu telah usai??

Tidak bisakah kita melakukan semua hal itu karena menyadari bahwa kita adalah manusia yang memang semetinya terus belajar dan belajar, bukan berpura-pura melulu. Bukan naïf melulu, bukan mengorbankan kader melulu.

Tapi, tentu ini tidak berlaku pada semua. Ada beberapa yang benar-benar mempertahankan apa yang mereka perjuangkan. Ada senior saya yang sudah sarjana, menikah, dan punya anak. Segala yang dipelajari dan diperjuangkan, ia terapkan dalam rumah tangganya dan masih sering aktif memberi saran masukan untuk para kader baru atau untuk para junior yang dalam tahap mencari jati dirinya.

Saya tentu mengapresiasi hal tersebut. Ia bukan menjilat ludah dan benar-benar menolak lupa. Maka untuk para kakanda yang memilih menjilat ludah dengan seribu satu alasan, serta menunjukkan hal tersebut secara terang-terangan, semestinya anda dideklarasikan sebagai penghianat untuk alam pikir anda sendiri. Atau penghianat atas tangan anda yang gatal namun paha anda yang anda garuk.

Jika itu terus diberlakukan, yang tergambar pada himpunan sendiri hanyalah bahwa himpunan ini bagus, secara materi. Tapi atmosfer dan habitusnya jelek!!Masalah ini adalah masalah klasik yang terus saja disepelekan hingga menjadi siklus.

Maka kepada kakanda dan para mahasiswa yang terhormat, memanusiakan manusia cukup dengan berhenti membuat seseorang berusaha mewujudkan apa yang dirimu sendiri tidak aminkan sedari sikap-sikap. Jangan jadikan revolusi sebagai umpatan kata untuk menyempatkan diri menikmati rumor-rumor belaka — atau perhatian dan rasa hormat belaka.

Hormatku, dindamu yang kau bohongi !!!

Penulis: Firdha Mutmainnah

Quotes of the day “Cuma manusia pengecut atau curang yang tiada ingin melakukan pekerjaan yang berat, tapi bermanfaat bagi masyarakat sekarang dan di hari kemudian itu.”

Tan Malaka

Comment