Menuju Pemilu Serentak 2020, Tukang Sablon Bicara Strategi Ekonomi

MEDIAEKSPRES.id – Musim kampanye lagi. Beranda media sosial dipenuhi janji-janji lagi. Lembaran koran, jurnal media online — dipenuhi iklan reklame calon Kepala Daerah dengan wajah ramah nan bersahaja lagi. Namun disayangkan diantara Tim Sukses (Timses) pendukung dan simpatisan calon Kepala Daerah masih sama seperti Pemilu lalu — menebar benci yang irasional sembari menjunjung dan mengagungkan calon dengan irasional pula. “Seolah mempertontonkan kebodohannya, seumpama menelanjangi kepalanya di beranda publik, hingga isi kepalanya terlihat kosong, seibarat dengan orang gila di jalan, dirinya tak menyadari kegilaannya”. Demikianlah perumpamaannya.

Sungguh sebelum menulis tulisan ini, penulis sedikit pesimis, jangan sampai hanya membuang energi untuk memikirkan susunan paragraf, memikirkan narasi yang tepat, untuk ide dan pokok pikiran yang sedang ingin didorong. Khawatir atas kesia-siaan waktu. Sebelum menyusun narasi, perlu memeriksa data di portal media online, mengamati media sosial dll. Sebagai pelengkap dan penguat ide serta gagasan yang ingin penulis tawarkan.

Upaya dalam mengambil bagian dalam kemajuan nation-state khususnya di daerah Sulawesi Barat (Sulbar), wabil-spesifik Kabupaten Mamuju, tidak boleh diekspresikan pesimistis. Mukaddimah diatas, sekedar sebagai ungkapan keresahan atas ekspresi konyol para Timses yang berseliweran di beranda-beranda media sosial.

Sebagai tukang sablon yang juga bergerak di bidang UKM, meski baru beberapa tahun, tapi setidaknya sudah cukup untuk menganalisa pasar — menganalisa perputaran ekonomi di Mamuju dan Sulbar pada umumnya, wabil-spesifik di bidang industri tekstil.

Di Mamuju, vendor sablon telah mencapai angka 20-an dan sebagian telah mulai naik level menjadi vendor Sablon Semi Konveksi. Tapi Penulis tidak sedang mengulas tentang Sablon dan Konveksi, melainkan lebih menyeluruh terkait langkah strategis untuk membangun sektor-sektor ekonomi. Dalam hal ini menumbuh kembangkan UKM-UMKM yang ada di Sulbar dan berdampak pada terbukanya lapangan pekerjaan serta meningkatkan PAD kabupaten maupun provinsi.

Logikanya, wilayah Sulbar bukan daerah industri pabrik, maka yang perlu diprioritaskan adalah akses pintu masuk bahan baku. Ironis kemudian, jika program pemerintah dalam membangun UKM dan UMKM hanya sebatas pelatihan, workshop dan slogan spanduk belaka. “Apa lagi jika hanya slogan kampanye politik tok”.

Apa yang riil meski dilakukan ? “Mendirikan pelabuhan peti-kamas, karna pelaku UKM yang ada di Sulbar paling banter di suplei oleh distributor dari tetangga provinsi. Sebut saja Makassar, melayani pengiriman ke Polman hingga Mamuju Tengah, lalu Palu melayani sampai Pasangkayu terkadang menembus hingga Mamuju Tengah”. Sejauh yang penulis amati.

Laut dihadapan kita bisa menampung kapal-kapal peti kamas, bahkan yang lebih raksasa lagi mampu kita sandarkan. Kenapa kita tidak melakukan yang lebih substansial, jika memang mau membangun sektor UKM-UMKM ?.

Pelaku UKM di Sulbar sulit bersaing dengan pelaku UKM dari Makassar, Palu hingga Jawa, toh mereka menawarkan produk yang lebih murah. Kenapa murah ? “Kan mereka mudah mendapatkan bahan baku, jadi mereka menang di ongkir dari tempat bahan ke tempat workshop mereka”.

Di Sulbar jika order bahan baku, tidak langsung ke produsen utama lantaran kalah di ongkos kirim. Sedangkan Makassar dan Palu menjemput di pelabuhan dengan tarif mulai Rp. 2.500 per- Kg hingga Rp. 7.500 Kg. Sementara pengiriman ke Sulbar minimal dikenakan Rp. 10.000 per Kg hingga Rp. 50.000-an per Kg, itupun dengan durasi yang memakan hingga 17 hari jika pengiriman via kapal laut, yang tarifnya lebih dibawah.

Nah mending kerjasama dengan suplayer provinsi tetangga, tapi konsekwensinya UKM dari tetangga provinsi kita juga akan menjadi pesaing kita. Selain itu uang konsumen Sulbar juga pada akhirnya sebagian dibawah ke tetangga sebelah kita. PAD-nya masuk kesana kan ?, yang tersisa di Sulbar, yahh sebagian kecil saja. “Apakah itu bukan ketololan, bicara tentang UKM tapi tidak membuat pondasi yang subtansial”.

Bayangkan jika pelabuhan peti kemas ada di Sulbar, mereka yang menganggur dan punya sedikit modal berpotensi memulai usaha bisnis, karna adanya peluang . Bayangkan ada berapa tenaga kerja yang akan diserap, tentu itu akan mengurangi angka pengangguran. Bayangkanlah PAD kita sebagai Kabupaten dan Provinsi, akan naik ke angka berapa persen?.

Sudahlah, cukup dibayangkan saja. Mungkin setelah Pilkada masih akan tetap seperti biasa, tiap 5-10 tahun kita ganti kepala daerah tapi perubahan tidak ada yang substansial yang menyentuh akar persoalan. Tapi semoga saja, calon Kepala daerah yang ada di Sulbar membaca tulisan ini atau paling paling tidak, pembisik yang ada di ring-ring utama kekuasaan membaca ini setidaknya dijadikan pertimbangan, jika kelak dia terpilih dan menang. Setidaknya tahun pertama jadi pertimbangan, tahun kedua jadi pertimbangan utama, lalu di tahun ketiga menjadi sebuah public policy.

Penulis: Muh. Fajar harun

(Owner Paindo Sablon & Konveksi)

Comment