MEDIAEKSPRES.id – Membicarakan perempuan berarti meluangkan separuh waktu untuk menggelitik nalar sendiri. Berdosa sekali rasanya mesti melulu berbicara tentang kaum ini, mesti melulu menjadikannya objek di tiap tulisan saya. Tapi mau bagaimana lagi, perempuan selalu saja memberikan saya ruang untuk menghibur diri saya dari dunia yang penuh tanya ini.
Saya tidak begitu terluka lahir dengan vagina walau sudah banyak sekali yang membicarakan perempuan. Dulu sekali, saat senior saya bertanya apa perbedaan wanita dan perempuan, saya hanya bilang tidak ada bedanya. Ternyata sedari makna saja sudah berbeda.
Wanita adalah sapaan dari bahasa jawa yang artinya “wani ditoto” yang artinya ‘berani diatur’ atau secara kontekstualnya ‘bersedia diatur’. Sedangkan perempuan memiliki kata dasar yaitu “empu” atau yang ‘dimuliakan’. Sebagai mana sapaan lelaki untuk menghargainya yaitu ‘tuan’ maka perempuan menarik kata ‘empuan’ atau ‘puan’. Lantas apakah saat ini saya adalah wanita atau perempuan?
Sepertinya saya adalah seorang wanita saat saya menitipkan rasa gentar pada diri saya untuk menyentuh rokok, namun saya adalah perempuan saat saya mampu menjadi seorang wartawati saat yang dikenali masyarakat hanya wartawan. Lantas apakah menjadi perempuan mesti tetap menjadi wanita?
Saat saya membaca tulisan kepanjang kopi adalah “Ketika Otak Butuh Inspirasi”, saya tentu setuju tanpa mesti berpikir lama, karena saya adalah penikmat kopi.
Namun jika saya membaca tulisan rokok membuat imajinasi lebih liar, hum. Rasanya saya tidak bisa memutuskan apakah itu benar atau salah. Pasalnya saya belum pernah menyesap rokok.
Ada yang menahan diri saya, yakni cambukan keras dari dunia sosial. Pada titik ini, diri saya adalah tidak lain wani ditoto. Aturan sosial dengan mudah dan dengan cepat mengikat kaki tangan saya sehingga saya seketika mampu menjadi bukan tuan atas diri saya, menempatkan posisi saya pada kenyataan bahwa apa yang masuk ke mulut sayapun butuh persetujuan orang lain.
Beda cerita dengan kawan saya yang berani menerobos cambukan sosial tersebut, ia dengan lihai memain-mainkan rokok di tangannya tanpa peduli dengan setiap luka yang diberikan dari seseorang hanya karena ia merokok.
Ia dengan gesit mengepulkan asap-asap dari balik bibirnya yang telah menghitam.
Tulisan ini tentu bukan bagian dari hasutan-hasutan untuk para empu melakukan tindakan merokok, lagipula saya tidak ahli untuk merasuk, saya hanya ahli mencintai dalam diam. Heuhh.
Hanya saja, ada begitu banyak yang mesti diluruskan dari pemikiran-pemikiran yang membelokkan kenyataan tentang rokok.
Walau saya pribadi tidak menafikan diri bahwa saya begitu disenangkan hatinya saat melihat lelaki memegang rokok, sambil baca buku, dan sambil menikmati aroma kopi di mejanya, lalu saya datang di dekatnya untuk berkenalan, lalu saya melihat rambutnya yang gonrong, lalu ia berhenti membaca bukunya dan melemparkan senyum pada saya, lalu mengambil tangan saya untuk bersalaman, lalu ada baiknya tulisan di paragraph ini saya akhiri daripada imajinasi saya liar terlampau lama.
Lagipula, tulisan ini hanya bentuk kecil dari memaparkan betapa rokok sangat aneh sedari fakta. Lihat saja, pada pembungkus rokok dengan jelas di tuliskan bahwa “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.”
Di titik ini tentu yang hamil hanyalah perempuan saja, tapi memahami lebih jauh, tulisan itu bukan untuk wanita yang belum hamil. Ada begitu banyak fakta nyata bahwa merokok tidak menutup kemungkinan untuk bisa hamil. Gangguannya hanya tertuju pada janin.
Lantas mengapa ada begitu banyak yang menyudutkan perempuan pada titik ini. Seolah saat perempuan merokok, ia adalah bagian dari kaum-kaum lingkaran setan. Mari lihat empu berprestasi seperti mantan mentri kelautan yakni ibu Susi.
Ia merokok namun tidak menjadikan dirinya sebagai sampah-sampah masyarakat yang melanggengkan stigma buruk terhadap perempuan yang merokok. Ah, puan, kau ini, sudah diganggu sedari kesehatan saat merokok. Diganggu pula jiwa mu dengan stigma yang mampu menembus dadamu.
Lalu tulisan yang mengerikan di pembungkus rokok sudah sangat jelas sekali, bahkan jika kalian ingin mencari di google tentang bahaya merokok, ada begitu banyak artikel yang memaparkan dengan jelas bahasa merokok baik untuk laki-laki ataupun perempuan.
Namun faktanya, bahaya merokok tidak pernah menyurutukan periklanan untuk membuat diri tertarik dengan rokok. Bisa di lihat ada begitu banyak spanduk rokok yang berdiri gagah di penghujung jalan besar kota, atau di tv nasional pun sudah begitu banyak iklan rokok.
Lantas jika memang berbahaya, mengapa rokok masih diedarkan? Saya tidak berani bilang bahwa orang Indonesia memang keras kepala, walau beberapa tahun lalu saya putus dengan mantan kekasih saya yang juga orang Indonesia hanya karena alasan saya keras kepala. hmmm
Salah satu alasannya adalah Tanggung Jawab Sosial. Beberapa alasan yang membuat rokok tetap diproduksi dan diperjualbelikan di Indonesia meski tahu rokok berbahaya adalah karena tiap tahunnya, Indonesia mendapat sumbangan APBN dari pungutan cukai dengan jumlah yang cukup besar.
Selain itu PT. Djarum sendiri juga membuka lapangan kerja di Indonesia dengan jumlah yang besar dan luas. Bayangkan jika rokok dilarang diproduksi di Indonesia maka bagaimana nasib para karyawan yang bekerja di PT. DJarum?
Wah, bisakah saya menyimpulkan bahwa edaran rokok di negara ini adalah bentuk menyakiti diri yang sangat romantis? Bagaimana tidak, tetap mengkonsumsinya bisa menghidupkan para pekerja buruh dan petani tembakau serta melanggengkan Indonesia sedari anggaran.
Terlepas dari hal tersebut, saya tentu akan lanjut membahas perihal empu ini.
Pada tahun 80-an, Indonesia memasukkan rokok kedalam iklan yang di tampilkan di tv-tv. Pemerannya adalah wanita. Barangkali itu yang menjadi alasan kuat masih banyaknya nenek-nenek yang mengomsumsi rokok. hukum merokok bagi perempuan sama dengan hukum merokok bagi laki-laki. Meski pada umumnya kebanyakan laki-laki yang merokok, namun dalam masalah hukum antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan. Tidak ada perbedaan jenis kelamin dalam masalah hukum rokok. Oleh karena itu, tidak boleh ada diskriminasi hukum antara laki-laki dan perempuan dalam masalah hukum rokok ini.
Ali syariati berkata bahwa jika ingin kesetaraan maka sistem sosial yang perlu di perbaharui. Pertanyaannya saat ini adalah siapkah sistem sosial yang menempatkan perempuan sebagai bagian dari lingkaran setan jika menyentuh rokok ini diperbaharui? Tentu tidak akan mudah bahkan jika realistis berpikir, di zaman ini itu tidak akan terjadi
Dalam lingkar orang berpendidikan saja, yang latar belakangnya telah di modernisasikan akalnya, seperti himpunan mahasiswa atau organda kampus, masih sempit untuk memandang ini. Maahasiswa itu gambaran masyarakat. Bila selaku orang yang mendeklarasikan diri sebagai kaum terpelajatr saja masih kerdil memandang rokok dan perempuan, lantas bagaimanan bisa menuntut masyarakat untuk tidak berpikir yang sama?
Buktinya, sudah banyak di temukan dalam forum diskusi kemahasiswaan, jika ada laki-laki yang merokok, itu adalah hal yang wajar. Namun jika perempuna yang melakukan itu, itu di anggap kebejatan yang gagal untuk forum dikskusi mengontrolnya.
Jika memang rokok berbahaya, lantas mengapa tidak melarang tanpa perduli jenis kelamin?
Lalu di titik ini, saya perempuan atau wani di foto?
Atau pada titik ini saya mampu menyimpulkan bahwa faktanya, menjadi puan masih wani ditoto di pelbagai situasi tertentu.
Saya bersepakat jika rokok membuat paru-paru burik, hehe. Namun saya tidak begitu sepakat jika bahaya rokok di timpahkan hanya pada perempuan. Walaupun jika menggali lebih dalam, larangan merokok yang mengkhususkan perempuan itu adalah bentuk kasih sayang terhadap para perempuan yang janinnya akan di titipkan benih revolusi. Hanya saja, untuk sesama orang dewasa yang sudah pernah melempar kasih sayang pada lawan jenis, kita tentu paham bahwa terkadang, ada kesalahan dalam mengaplikasikan kasih sayang. Jika tidak, beberapa tahun lalu saya tidak akan putus dengan mantan saya.
Penulis: Firdha Mutmainnah
Quotes of the day “Perempuan itu sama seperti bunga. Mereka harus diperlakukan dengan lembut, baik, dan penuh kasih sayang.”
Ali bin Abi Thalib
Comment