Dalam riwayat peradaban, dikisahkan tentang sebongkah batu yang lelah memanggul bebatuan lain.
Dikisahkan pula, di sana, berdiri sebongkah batu yang kokoh, menopang pilar-pilar peradaban. Ia menamai dirinya: Rakyat.
Sejatinya, ia bukanlah bebatuan yang dipanggul, melainkan pilar itu sendiri, yang menopang atap-atap yang bersemboyan: kemajuan.
Bebanan kerap kali dipersonifikasikan dalam bayang-bayang keluh kesah, dalam kerut-kerut wajah yang lelah, dalam keringat yang mengalir seperti sungai, tanpa muara.
Mereka seringkali dipandang sekadar angka-angka statistik, barisan nama tanpa wajah, dan gumaman-gumaman yang tak pernah sampai ke langit-langit kekuasaan.
Mereka dianggap sebagai gumpalan tanah liat yang pasif, yang hanya bisa dibentuk oleh tangan-tangan sang pemahat, para elit.
Namun, pemahaman itu adalah ilusi optik, sebuah kesalahan persepsi yang fundamental. Sebab, sejatinya, setiap butir keringat itu adalah pelita, setiap gumam itu adalah mantra, dan setiap keluh kesah itu adalah melodi yang mengiringi langkah-langkah menuju fajar.
Rakyat bukanlah beban, melainkan harapan. Mereka adalah matriks dari setiap kemungkinan, kode genetik dari setiap inovasi. Dalam diri mereka, tersembunyi benih-benih revolusi, bukan dalam arti destruktif, melainkan sebuah transformator kesadaran, yang perlahan tapi pasti, akan mengubah lanskap sosio-politik.
Harapan itu terukir di kening seorang petani yang menanam padi, sebab ia tak hanya menanam butir-butir nasi, melainkan juga menanamkan optimisme akan panen yang melimpah.
Harapan itu terwujud di tangan seorang ibu yang menjahit, sebab ia tak hanya merangkai benang, melainkan juga merajut masa depan bagi anak-anaknya.
Harapan itu menyala dalam sanubari seorang guru yang mengajar, sebab ia tak hanya mentransfer ilmu, melainkan juga menyemai tunas-tunas intelektual yang kelak akan memimpin peradaban.
Mereka bukanlah beban yang membebani, melainkan fondasi yang menopang. Memahami rakyat sebagai beban adalah sebuah keangkuhan epistemik. Ia meniadakan esensi, mereduksi entitas menjadi objek, dan mengabaikan kedalaman filosofis dari keberadaan mereka.
Mereka adalah sumber dari segala kekuatan, reservoir dari setiap mimpi, dan pabrik dari setiap realitas yang tercipta.
Sudah saatnya yang di atas, mengubah sudut pandang. Jangan melihat mereka sebagai sekumpulan masalah yang harus diselesaikan, melainkan sebagai sumber daya tak terbatas yang harus diberdayakan. Sebab, di dalam setiap individu rakyat, terdapat sebuah alam semesta yang menanti untuk dieksplorasi.
Di sanalah, harapan tak lagi menjadi abstrak, melainkan konkret, nyata, dan terukir di setiap langkah peradaban.
Tabe’
H. Makdoem Ibrahim




Comment