Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia di hadapkan pada tantangan serius terkait meningkatnya angka pernikahan dini.
Fenomena ini tidak hanya terjadi dipedesaan, tetapi juga merambah ke perkotaan, kini kembali menghantui generasi muda.
Di balik romantisme pernikahan, namun tersembunyi ancaman yang mengancam masa depan mereka. Lonjakan pernikah di usia muda, bukan hanya sekedar tren, melainkan sebuah alarm bahaya yang harus segera diatasi.
Di tengah gemerlap modernitas, di mana akses informasi dan teknologi semakin mudah dijangkau, fenomena pernikahan dini justru semakin memprihatinkan.
Data statistik menunjukan peningkatan yang signifikan angka pernikah dini di Indonesia masih dibilang cukup tinggi. Pada tahun 2020, tercatat 10,18% perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, dan 7,16% bahkan menikah sebelum usia 15 tahun.
Angka ini menunjukkan masih banyak anak perempuan yang dipaksa menikah di usia muda, padahal mereka belum siap secara fisik, mental dan ekonomi untuk menjalani kehidupan rumah tangga.
Dampak pernikahan dini terhadap kesehatan fisik dan mental sangatlah nyata bagi perempuan. Di mana, mereka dihadapkan pada kenyataan yang sebenarnya belum siap meraka hadapi. Bayangkan seorang remaja putri yang seharusnya menikmati masa sekolah dan mengejar mimpi, justru dibebani dengan tanggung jawab rumah tangga dan mengasuh anak.
Lebih memperihatinkan lagi, pernikahan dini sering menjadi pintu masuk bagi kekerasan dalam rumah tangga. Remaja yang belum matang dan belum secara emosional dan belum siap menghadapi tuntutan pernikahan, akan mudah terjebak dalam konflik dan kekarasan.
Selain itu, pernikahan dini juga berdampak negatif terhadap pendidikan. Perempuan yang yang menikah dini seringkali terpaksa meninggalkan sekolah untuk mengurus rumah tangga dan mengurus anak-anak.
Hal ini dapat menghambat peluang mereka untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi dan meningkatkan kualiatas hidup mereka. Dampak ekonomi dari pernikan dini juga tidak kalah serius.
Perempuan perempuan yang menikah dini seringkali terjebak dalam kemiskinan, karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan keterampilan dan mencari pekerjaan yang layak.
Melihat realita itu, pernikahan dini bukan hanya menjadi masalah tradisi atau budaya, tetapi sebuah pelanggaran hak asasi manusia. Anak-anak memiliki hsk untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan perlindungi dari kekerasan.
Pernikahan dini merampas hak-hak tersebut dan menghambat potensi mereka untuk berkembang.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah, masyarakat, dan keluarga memiliki peran penting dalam mencegah lonjakan pernikahan dini.
Edukasi tentang dampak negatif pernikahan dini, penguatan ekonomi keluarga, dan akses terhadap pendidikan dan kesehatan, menjadi kunci untuk melindungi masa depan generasi muda.
Pemerintah perlu meningkatkan akses terhadap pendidikan dan informasi tentang kesehatan kepada kaum muda. Selain itu pemerintah juga perlu memberikan bantuan ekonomi kepada keluarga miskin untuk mencegah pernikahan dini sebagai jalan keluar dari kemiskinan. (*)
Oleh : Agnes Omin, Mahasiswa Stipas St. Sirilus Ruteng 2002.
Comment