Oleh : Joko Prianto
( Alumni SKPP Bawaslu RI )
Satu tahun menjelang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden maupun Legistlatif tahun 2024, elektabilitas dan popularitas calon pemimpin tidak kalah memanas. Bisa kita Lihat dari lembaga survey maupun media Sosial, Para kandidat yang mempunyai popularitas dan potensi maju semakin gencar untuk bersafari politik, serta bertemu masyarakat. Era digital semakin memudahkan rakyat untuk mendapatkan informasi calon pemimpimnya.
Dikala momen pemilu, para tokoh akademisi, bangsa, agama sampai masyarakat biasa saling mengemukakan opininya diberbagai ruang informasi untuk memberi tanggapan terhadap tokoh-tokoh potensial yang akan menjadi pemimpin di negeri ini. Ekspresi demokrasi selalu menarik untuk dilihat dalam momen mendekati Pemilu, ruang-ruang diskusi sudah mulai aktif berbicara tentang berbagai kemungkinan yang terjadi, efek dari safari politik para pimpinan partai dan pemilik kursi legislatif.
Banyak dari golongan masyarakat yang mengambil peran untuk berekspresi dalam menciptakan dinamika menjelang Pemilu 2024. Momentum hajatan politik lima tahun sekali, setidaknya memberikan sebuah pelajaran pada masyarakat sebagai bagian dari pendidikan politik bagi para pemilih yang baru pertama kali akan mencoblos, dalam ekspresi demokrasi yang saya maksud lebih kepada bagaimana para pemilih pemula, dapat menguatkan sisi moral dirinya dalam menghadapi dinamika politik yang berlangsung.
Para tokoh potensial yang saat ini sedang mencari atensi masyarakat—tidak jauh berbeda alias tokoh lama—tokoh-tokoh baru relatif sulit bersaing. Hal itu bukan menjadi batu sandungan bagi tokoh baru untuk kebaikan negeri kita, dengan gagasan yang tidak kalah menariknya. Politik selalu dinamis, kedepannya tidak menutup kemungkinan akan muncul deklarasi untuk memenangkan calonnya, meskipun dinamika saat ini terlihat tidak mungkin terjadi. Sebagai anak bangsa tentu menginginkan ekspresi demokrasi yang bermoral yang diperlihatkan oleh elit politik negeri.
Saling beradu argumen dan opini merupakan hal yang bagus, tetapi harus mengedepankan sebuah ekspresi demokrasi yang bermoral, beretika dan santun. Tidak saling menjelek-jelekkan sesama anak bangsa, terlebih bermain pada politik identitas, jangan sampai hal itu diperlihatkan oleh tokoh politik yang akan berimbas pada tatanan dibawahnya. Ekspresi demokrasi harus bermartabat siapapun calonnya dan apapun partainya, tidak ada lagi istilah-istilah yang memecah belah bangsa, seperti cebong atau kampret yang terjadi pada Pemilu sebelumnya yang mengakibatkan lapisan masyarakat menjadi terkotak-kotak.
Para calon pemimpin bangsa harus bisa memperlihatkan kepada generasi muda, khususnya pemilih pemula bagaimana ekspresi demokrasi yang bermoral dan santun, tidak saling menjatuhkan dan saling merangkul serta adu gagasan demi kemajuan Indoesia dimasa mendatang.
Mari kita belajar kepada founding fathers kita yang telah megajarkan kita berfikir dan bertindak ketimuran yang bermoral, santun dan beradab. Saatnya kita menyudahi politik yang menghalalkan segala cara untuk kemenangan, para elit politik harus mempunyai kebesaran jiwa untuk menerima hasil dari proses politik. Seorang politisi harus menjadi penyambung lidah masyarakat yang profesional dengan menjaga amanah. Jangan memberikan generasi muda kita dengan ekspresi demokrasi yang buruk, karena mereka akan mewarisi proses politik Para pendahulunya. (*)
Comment