Oleh: Ferdy Hidayat (Kader Front Perjuangan Pemuda Indonesia Mamuju)
Pada masa lalu, penjajah berhasil masuk ke wilayah nusantara lewat berbagai cara. Trik dan intrik mereka lakukan.
Selain lewat metode Devide et Impera atau politik adu domba, para penjajah juga masuk dengan pendekatan politik etis kepada rakyat. Ya, dengan kata-kata dan janji manis – bak pujangga yang berusaha merebut hati pujaannya.
Sejarah mengalami proses dialektis. Ia terus berulang dengan kulit yang berbeda-beda. Hingga hari ini.
Jika negara masih terlalu polos dan tidak ingin belajar dari pendekatan yang telah dilakukan oleh bangsa Belanda dan Jepang dalam usahanya untuk menjajah dan merebut hasil bumi yang ada di nusantara, maka peluang Indonesia merasakan apa yang dialami di zaman kolonialisme akan terulang dan terjadi lagi.
Dimulai dari Belanda dengan VOC-nya, mendarat di Ambon melalui pendekatan “membebaskan rakyat Ambon dari penjajahan Portugis”. Namun pada akhirnya perlakuan Belanda kepada rakyat Ambon tidak ada bedanya dengan apa yang dilakukan oleh Portugis, karena sumber daya alam adalah tujuan utama mereka (pertengahan abad 16).
Tiga abad kemudian datanglah Jepang yang memberikan harapan baru bagi Hindia Belanda di tahun 1942, dengan pendekatan “sesama bangsa Asia”. Jepang berhasil mengambil kekuasaan Belanda dari Indonesia pada akhirnya.
Namun lagi-lagi apa bedanya dengan Belanda???
Jika Belanda mengeksploitasi SDA di Hindia Belanda untuk kejayaan VOC, maka Jepang mengeksploitasi minyak bumi yang saat itu mereka pergunakan untuk kebutuhan angkatan perangnya (Perang Dunia II).
Dan 78 Tahun kemudian — tepatnya pada tanggal 5 Oktober 2020 disahkannya oleh DPR UU Cilaka Omnibus Law dan ditekennya pada 2 November 2020 tersebut oleh Presiden Jokowi.
Kita ketahui bersama memiliki banyak kecacatan prosedural dan kurangnya sosialisasi publik kepada Akar Rumput yang merasakan dampak dari UU Cilaka ini adalah sebuah sejarah baru untuk penjajahan di Indonesia.
Namun bedanya dulu, bangsa lain yang melakukan itu dan sekarang pemerintah sendirilah yang menjadi aktor utama, dengan menggunakan bahasa INVESTOR.
Kita runut kembali dari masa ke masa: Belanda, Jepang, dan Pemerintah Indonesia atas nama Investor tersebut adalah model penjajahan yang baru.
Yah, politik etis. Pemerintah yang seakan pro-rakyat justru menggarami kembali luka lama bekas Belanda dan Jepang.***
Comment