Oleh: Refli Sakti Sanjaya (Kader PMII Mamuju)
MEDIAEKSPRES.id – Agak bingung rasanya bergelut di dunia organisasi Cipayung saat ini, yang bersampul nirlaba dan Independen. Bahkan berlagak kontrol sosial di hari-hari momentum nasional. Namun nyatanya sebagian bersembunyi di kepentingan partai politik yang notabenenya diisi oleh seniornya masing-masing.
Tampak miris saat mereka sedang berkompetisi untuk memperebutkan suatu jabatan, baik dalam kampus maupun luar kampus. Seperti halnya pemain bola di lapangan yang memperebutkan satu bola, sekalipun terselip kepentingan perut dan masa depan personal. Bahkan ada juga yang menjadikan ajang memperluas relasi agar peluang pascasarjana dapat terjamin.
Sampai pada akhirnya uang dan makanan sudah menjadi instrumen gerakan kontrol sosial saat ini — meski dibungkus atas nama pengabdian.
Tentu dari hal itu dampaknya adalah mental sekat-sekat yang terbangun pada tiap generasi yang belum sadar saat berada pada siklus ini. Semua demi sejahteranya kelompok masing-masing. Orientasi sosial tadinya berganti jadi orientasi individualistik — dari visi ikut andil menyejahterakan kaum marginal — berganti jadi menyejahterakan kelompok masing-masing.
Perlu direnungi bahwa potret organisasi Cipayung hari ini menjadi miris karena disebabkan oleh dogma romantisme pergerakan para pendahulu, pada masa kepemimpinan Bapak Pembangunan Indonesia. Sungguh nyata bahwa Orde Baru berhasil membuahi masing-masing rahim organisasi Cipayung sehingga melahirkan sebagian kader ideologis bercap orba — yang tentu orientasinya membentuk karakter pragmatis.
Bisa dilihat saat ini ada berapa jumlah kader organisasi Cipayung yang mengisi struktur pemerintahan, mulai dari menteri sampai dewan perwakilan rakyat — dan juga ada di jajaran staf khusus presiden. Semuanya berdalih menggiring arus melalui dari dalam sistem — lalu mengisi berbagai leading sector hingga masing-masing terjebak pada kesulitan — memilah antara kepentingan individu, kelompok, dan umat — yang pada akhirnya menjadi pelicin kepentingan oligarki atau penguasa. Parahnya lagi; menjadi bagian dari oligarki atau penguasa itu sendiri.
Tentu hal ini sudah jauh dari nilai dasar lahirnya organisasi Cipayung. Semula berorientasi idealis pada dulunya, yang konsentrasinya pada pendampingan kaum musth’adafin/(kaum tertindas) demi mencapai kesejahteraan, dengan visi berkomitmen memperjuangan cita-cita kemerdekaan Indonesia secara kompleks. Tentu hal ini sangat dirindukan sekali.
Namun perlu disadari juga semua itu pada dasarnya bukan karena organisasinya.
Organisasi itu merupakan benda mati. Aktif dan vakum, atau baik dan buruknya organisasi tergantung dari orang-orang yang ada di dalamnya. Justru sejatinya potret organ Cipayung saat ini disebabkan oleh orang-orang yang ada di dalam organisasi itu sendiri. Karena pada dasarnya tidak ada organisasi Cipayung yang berasas dan bertujuan tidak baik, apa lagi ingin meruntuhkan NKRI.
Adapun kemudian lahir orang-orang yang tidak baik dari organisasi ini, tentu bukan karena tujuan organisasinya melainkan sebagian besar karena tujuan para instruktur atau fasilitator yang mungkin keluar dari jalur tujuan dasar organisasi itu sendiri (out of the track).
Ataupun sebagian kecilnya karena arahan senior yang punya kepentingan.
Sekarang apa yang mesti dibanggakan sebagai kader organisasi Cipayung? Apakah kita sudah melahirkan banyak kader ideologis dari total jumlah pengkaderan tiap kalinya? Apakah kita sudah berhasil merobohkan oligarki? Apakah kita sudah maksimal mendampingi kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat miskin kota?
Semoga kawan-kawan yang tanpa sengaja membaca opini ini juga termasuk salah satu kader yang belum sadar berada pada siklus pragmatis organisasi Cipayung saat ini, agar bisa memprovokasi singa yang ada dalam dirinya untuk berani menggambarkan realitas organ Cipayung hari ini.
Dengan modal historycal perspektif mari kita bedah bersama posisi organisasi kita masing-masing saat ini, hingga merenung sejenak dan lalu bersiap melakukan evaluasi besar-besaran untuk mengembalikannya ke khittah perjuangan.
Siapa yang tidak bangga ber-HMI,ber-GMNI, ber-PMII, ber-GMKI, ber-PMKRI, dll yang kemudian akrabnya disapa kelompok Cipayung. Tapi pertanyaannya kemudian: apakah para pendiri organisasi kita masing-masing bangga dengan apa yang kita lakukan saat ini?
Mari tetap menjaga api semangat revolusi, kalau memang perlu revolusi baiknya diarahkan pada internal organisasi kita masing-masing. Karena setiap masa beda orangnya. Nah, hari ini adalah masa kita bersama, olehnya mari bangkit bersama menuju lebih baik. Hidup Mahasiswa !!!
“Tapi kau sudah membuat keributan! Kau tidak boleh melanggar hukum. Kau adalah seorang mahasiswa, bukan mafia.”
Pia Devina
Comment