Masalah PBB di Mamuju Kembali Mencuat

Masalah ini juga sempat ditanggapi mantan Lurah Binanga, Irham Saleh. Ia mengakui telah banyak menerima laporan dari warga terkait pembayaran PBB.

“Bahkan ada beberapa masyarakat yang datang ke saya complain pajaknya dari tahun 2000 masih terutang, padahal menurut dia sudah dibayar,” ungkap Irham saat ditemui dikantornya, Rabu (19/11/19).

Menurut Irham, ada dua opsi dengan permasalahan tersebut. Pertama ada kemungkinan perilaku buruk kolektor di masa lampau dan kemungkinan ada kesalahan pada sistem yang diterapkan oleh Badan Pendapatan daerah (Bapenda).

Akibat dari itu, ia juga mengakui pihaknya merasa terbebani karena banyak pegawainya tidak mau lagi menjadi kolektor, olehnya itu ia berharap persoalan PBB harus segera diselesaikan.

“Ada banyak pegawaiku disini yang sudah tidak mau jadi kolektor. Kenapa? Ini berdasarkan pengalaman di masa lampau,” sebutnya.

Irham menjelaskan, sebelumnya yang ditugaskan menagih PBB atu menjadi kolektor itu dari Kelurahan dan Bapenda. Namun seiring perkembangan Bapenda mengembangkan dengan membangun kerjasama pihak bank dan kantor Pos.

“Sekarang masyarakat bisa membayar langsung melalui Bank, kantor Pos, dikantor Bapenda atau melalui kolektor. Tetapi jika masyarakat lebih memilih membayar di kolektor, saya harap diminta kwitansi dan ditulis namanya siapa yang mengambil, ataukah bisa juga di foto yang menagih,” harapnya.

Sementara Kepala Bidang Pengelolaan Pendapatan Daerah, Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Mamuju (Bapenda),  A. Tasrif Akbar saat itu, menyebut utang PBB dari tahun 2008 sampai 2019 sekitar 18 Milliar lebih. Ia mengakui beberapa masalahnya karena ada tempat yang terdaftar sebagai wajib PBB padahal itu seharusnya tidak perlu, seperti lapangan, kuburan, fasilitas ibadah dan kantor. Kemudian banyak masyarakat yang mengaku sudah membayar tetapi tidak terakses di sistem sebagai PBB yang sudah dibayarkan.

“Kalo melihat kesalahan kemarin memang rata-rata masyarakat rajin membayar, hanya saja ada oknum yang nakal,” terang Tasrif saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (19/11/19).

Tasrif menyampaikan, kadangkala jika penagih kehabisan bensin ia menggunakan uang hasil pembayaran PBB sebagai biaya transportasi dan akhirnya menjadi masalah karena tidak ditutupi. Itu disampaikan Tasrif berdasarkan pengakuan Lurah Karema.

“Ataukah mungkin juga karena faktornya penagih harus mengumpul dulu baru stor di bank. Tetapi menjadi lupa dan baru di stor ketika sudah jatuh tempoh dan itu otomatis sudah ada dendanya,” jelasnya.

Selain itu masalahnya karena ada proses peralihan dari KPP Pratama ke Bapenda. Sementara pada saat itu masih ada terutang PBB sekitar delapan miliar yang secara otomatis menjadi tanggungjawab Bapenda. Akan tetapi yang demikian, kata Tasrif sementara diusahakan untuk diputihkan dan Perbupnya juga sementara digodok bersama DPR. Disamping itu diusahakan untuk dibuatkan Perbup untuk meringankan denda administrasi wajib PBB dengan catatan wajib pokok harus tetap dilunasi sepanjang masyarakat tidak bisa membuktikan STTS-nya.

Comment