Dugaan Konspirasi Penanganan COVID-19 Sulbar, Penyebab Dua Santri Lari dari Isolasi

Memang anak dan orang tua memiliki ikatan batin yang tetap terjalin, rasa rindu tak tertahankan, sang anak kepada orang tua dan orang tua kepada anak. Alunan merdu suara orang tua terhantar lewat jaringan seluler, saling beri kabar. Keindahan suara sang ibu merasuk hingga ke qalbu. Rindu tak terhankan, ingin segera berjumpa. Membayangkan belaian kasih sayangnya. Menyatu lewat tetesan air mata. Mereka—Kedua orang tua—bangga dengan anaknya sebagai seorang santri. Pesannya, belajar, belajar ilmu agama. Bekal di hari yang cerah. Kebahagiaannya tak terlukis, lahir dari rahim serta merasakan kecupan kasih, merdu detak jantungnya, disetiap helaian nafasnya yang memecah kesunyian malam menambah kerinduan yang memuncak.

Saat itu, Jumat, 17 April hari yang cerah. Ribuan santri laki-laki dan perempuan, santri dan santriwati atau akhi dan ukhti, termasuk santri asal Mamuju, meninggalkan asrama Pondok Pesantren (Ponpes), Al Fatah, desa Temboro, Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Para santri dan santri wati di Ponpes itu, mengenakan jubah dan kopiah bagi santri dan  hijab serta penutup wajah bagi santri wati. Ponpes Temboro didirikan pada tahun 1950. Saat ini merupakan salah satu Ponpes berkelas internasional. Capai 22.000 santri. Kesemuanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan beberapa negara di Dunia, termasuk 200-an santri asal negara tetangga Malaysia. Mereka dipulangkan—tentu juga ada yang tinggal—karena himbauan pemerintah. Sekolah diliburkan, juga Pesantren. Itu dilakukan untuk menghindari para pelajar tertular Covid-19.

Namun, sebelum para santri dan santri wati itu beranjak, mereka di-rapid test. Rapid test adalah sebuah alat kesehatan untuk pemeriksaan dini, mendeteksi antibody. Kalau hasilnya reaktif, artinya antibody sudah berada didalam tubuh, sehingga dianggap telah pernah kemasukan virus corona. Sedangkan non reaktif, dua kemungkinan, bisa jadi tubuh belum pernah terinfeksi virus corona, atau telah terinfeksi namun antibodi belum terbentuk. Karena anti bodi terbentuk sekitar delapan hari setelah kemasukan virus.

“Jadi yang diperiksa rapid test itu antibody, sedangkan swab yang diperiksan itu, virusnya. Sebaiknya penggunaan rapid test dilakukan dua kali dengan selisih waktu 7 hari, sehingga bisa diketahui dengan jelas, karena bisa jadi saat pemeriksaan pertama antibodi belum terbentuk, sehingga hasilnya non-reaktif. Antibodi reaktif swab negatif, bisa terjadi karena antibodinya reaktif atau cross reaktif dengan berbagai penyakit lain. Inilah kelemahan dari pemeriksaan antibodi, bisa cross reaksi dengan penyakit lain walaupun sudah di challange dengan antigen yang spesifik. Makanya memang harus di konfirmasi dengan pemeriksaan swab, hidung dan tenggorokan,” kata dokter Spesialis Paru, dr. Erlang Samoedro, Sp. menjelaskan kepada compas.tv, Kamis  (21/05/2020). (lebih detailnya. baca: Tanya jawab corona: Ini arti reaktif dan non-reaktif saat rapid test).

Kembali ke rapid test Santri Ponpes Temboro. Hari itu mereka menjalani rapid test, hasilnya ada yang reaktif dan non reaktif. Yang reaktif tinggal untuk menjalani karantina. Sedangkan yang non-reaktif dipulangkan dengan menggunakan bus menuju bandara Juanda Surabaya –standar protokol kesehatan—dengan pengawalan petugas. Termasuk santri asal Mamuju dan Mamuju Tengah. Esoknya Mereka tiba di Bandara Tampa Padang Mamuju, pada Senin, 18 April 2020.

“Saya bersama teman saya dari Ponpes Temboro enam orang. Satu pesawat semua. Satu orang asal Mamuju Tengah inisial (MU). Kalau Mamuju, saya (AK), (MY), (DR), (MD) kalau yang satunya lagi kulupai namanya. Kalau teman saya yang satu, yang di Wisma Malaqbi itu beda pesawatka. Semuanya bersama saya diperiksa suhu tubuh oleh petugas di bandara Surabaya, Makassar dan Mamuju. Hasilnya aman semua,” kata Santri inisial AK (18 tahun) Sampoang, Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju.

Lanjut AK bercerita, saat tiba di Bandara, mereka berenam berpisah. Semuanya dijemput oleh keluarganya—Bukan Petugas Covid-19. AK dijemput oleh Kakaknya menuju rumahnya di Sampoang. Keluarga AK menyambutnya dengan rasa bahagia, saling bersalaman. Namun AK tak pernah keluar rumah, sebab dirinya sadar bahwa ia dari wilayah zona merah. Dendi tetangga rumahnya—juga kakak sepupu AK—tak khawatir, iya sering mengunjungi rumah AK bahkan tiap malam nongkrong di pondok kebun belakang rumahnya bersama bapaknya AK.

“Om bilang ke saya tidak takut ko di selalu kesini. Saya jawablah apa mau saya ambil takut Om. Kalau orang lain tidak mau lagi kesini karena AK dari zona merah. Sayapi Om temaniki. Ya corona maka saya juga itu om. Jangan maki takut kalau coronaji,” kata Dendi pemuda gemar bertani ini.

Direktur RSUD Sulbar, dr. Indah Waty. Saat waancara sesudah kejadian dua santri lari dari ruang gedung Isolasi RSUD Regional Sulbar. (foto: JL)

Comment