Siaga Corona, Waspada Omnibus Law

MEDIAEKSPRES.id – Dunia kini digemparkan dengan pandemik yang merenggut banyak korban jiwa, yaitu Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) atau masyarakat umum lebih akrab dengan sebutan Virus Corona. Virus ini mengingatkan kita dengan beberapa hal, salah satunya adalah siklus Pandemik 100 tahun.

Di Indonesia sendiri, pandemik ini menjadi buah bibir masyarakat baik dalam realita maupun di sosial media. Dikutip dari laman salah satu media nasional, sejak tanggal 2 Maret 2020 hingga Kamis 14 Mei 2020 tercatat ada 16.006 kasus positif Virus Corona, 3.518 orang sembuh dan 1.043 orang meninggal di Tanah Air.

Namun, jauh sebelum pandemik ini menyeruak di tengah-tengah masyarakat, kita lebih dulu disibukkan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan atau akrabnya disebut RUU Omnibus Law — yang draf-nya diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR-RI, pada Desember 2019.

RUU Omnibus Law ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), di mana Pemerintah berharap bahwa Omnibus Law ini dapat memperkuat perekonomian nasional, dengan memperbaiki ekosistem Investasi. Akan tetapi, rencana tersebut mundur hingga Januari 2020 dan masih jadi pembahasan di DPR hingga saat ini.

Kedua masalah inilah yang hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini. Jika dibandingkan mana yang lebih berbahaya bagi bangsa dan negara yang kita cintai, maka Omnibus Law lebih berbahaya. Mengapa demikian?

Pertama, pembahasan RUU Omnibus Law tetap berjalan di gedung DPR, padahal kita ketahui bersama bahwa Pemerintah mengeluarkan aturan terkait social distancing untuk mencegah penyebaran Covid-19, bahkan masyarakat dari berbagai kalangan juga sudah meminta agar pembahasan Omnibus Law dihentikan sementara, sampai keadaan kembali stabil.

Jadi, ketika DPR tetap kokoh untuk membahas Omnibus Law di tengah social distancing, bisa disimpulkan bahwa DPR berpandangan Omnibus Law ini situasinya lebih penting dan genting dibandingkan mengurus pencegahan dan penyebaran Covid-19.

Kedua, Omnibus Law yang katanya akan memperkuat sistem perekonomian nasional dengan memperbaiki ekosistem investasi, berbanding terbalik dengan realita terkait investasi di Indonesia. Pasalnya, para investor asing masuk di Indonesia lewat UU NO. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Mari kita lihat fakta yang dihadirkan oleh investor asing  apakah menambah peningkatan perekonomian Indonesia ?

Salah satu perusahaan asing yang masuk pertama kali untuk mengelola kekayaan alam milik Indonesia lewat UU. NO 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sejak Undang-Undang ini lahir adalah PT. Freeport.

Sejak saat itu, PT. Freeport masuk dan menggali Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di Irian Jaya, tak tanggung-tanggung yang digali adalah logam mulia berupa Emas dan Tembaga.

Emas adalah logam mulia yang harganya tidak pernah turun tetapi justru naik tiap tahun. Harga Emas saat ini berada di kisaran Rp. 800.000,-/gram.

“Jadi kami produksi 240 kg lebih emas per hari dari Papua,” kata Tony di Gresik saat dimintai keterangan mengenai hasil produksi dari PT. Freeport, dilansir dari CNBC Indonesia, Sabtu (24/8/2019).

Nah, sekarang dari tahun 1967-2020 apa utang Indonesia makin melambung tinggi atau sebaliknya?

Seharusnya dengan produksi sebanyak itu, utang Indonesia sudah lunas atau bahkan Indonesia yang memberikan pinjaman ke negara lain.

Kemudian perlu diingat bahwa sebelum panggung demokrasi memanas, ada pemberitaan terkait melemahnya bursa saham di Indonesia. Investor asing tidak mau menanam modal karena ada banyak kasus korupsi yang tak tuntas.

Jadi, seharusnya solusinya bukanlah Omnibus Law. Akan tetapi, pemberantasan korupsi yang tidak tebang pilih disertai dengan penuntasan kasus-kasus tersebut.

Ketiga, pemerintah sadar bahwa ada beberapa Undang-Undang yang tumpang tindih. Ini adalah salah satu bentuk kerancuan di Indonesia, sehingga membuat stigma di masyarakat bahwa ada permainan politik antara pemerintah dan investor asing, terkait pengesahan Omnibus Law.

Ketika pemerintah sadar bahwa ada beberapa Undang-Undang yang tumpang tindih, mengapa tidak melakukan revisi secara bertahap, sehingga tidak menghabiskan banyak anggaran dan masalah tertuntaskan?

Keempat, dengan dilegalkannya Omnibus Law akan mematikan ekonomi kerakyatan. Omnibus Law hanya akan menguntungkan investor asing yang memiliki modal besar.

Hal ini sebenarnya berbanding terbalik dengan program pemerintah yang ingin meningkatkan UMKM. Tentu ketika UMKM diperhadapkan dengan investor asing maka pemerintah akan memilih investor asing karena memiliki modal yang lebih tinggi.

Seperti itulah teori ekonomi berjalan, siapa yang punya modal lebih tinggi dialah yang akan memuncaki perdagangan. Meskipun itu tidak sesuai dengan konsep persaingan usaha secara sehat.

Kelima, dengan masuknya investor asing akan ada lahan hijau dan pesisir pantai atau pulau-pulau kecil yang akan dirombak menjadi tempat industri.

Jadi, seketika Omnibus Law disahkan maka eksploitasi terhadap alam akan marak terjadi, padahal unsur-unsur dari alamlah yang menjaga sistem imun manusia.

Lagipula “Kesehatan Manusia tergantung sehatnya Alam”. Apalagi di tengah badai pandemik Covid-19, kita seharusnya tak hanya sekadar memperhatikan protokol kesehatan dengan mencuci tangan, jaga jarak dan menggunakan masker.

Pandemik Covid-19 ini harusnya menjadi jalan untuk kita membuka mata lebar-lebar agar lebih mencintai alam, sebagai bagian dari cara kita menjaga kesehatan. Bahkan agama juga mengajarkan kepada kita untuk menjaga hubungan kita dengan alam.

Inilah beberapa hal yang membuat Omnibus Law lebih berbahaya dibandingkan dengan pandemik Covid-19, sekaligus memperlihatkan bahwa kita harus waspada terhadap pelegalan Omnibus Law.

Meminjam perkataan sang Proklamator kemerdekaan Indonesia sekaligus Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. “Saya lebih memilih mengola kekayaan alam di negara ini dengan kedua tangan saya, daripada diola oleh negara lain.”

Sang Proklamator yakin bahwa Indonesia bisa berdiri di kaki sendiri dan yakin itu akan terjadi karena kemerdekaan juga kita raih sendiri — bukan diberikan oleh negara lain.

Kemudian, mengutip perkataan sang Guru Bangsa, Presiden ke-4 Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) “Ada yang lebih penting daripada politik yaitu kemanusiaan.”

Kalau hari ini pemerintah peduli dengan rakyat, mengapa harus peduli hanya karena pandemik Covid-19, kenapa tak mendengar suara rakyat yang menolak Omnibus Law?

Agenda politik jangan dijadikan agenda kemanusiaan, Omnibus Law terang akan membuat rakyat menjerit, alam menderita dan investor asing makin berjaya.

Terakhir sebagai penutup Alam itu sahabat, bukan media pemuas nafsu, jadi jaga alam maka alam juga akan menjagamu.

Penulis: A. Muh. Asrul Mawardi / Firdha

Quotes of the day “Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu.”

Soe Hok Gie

Comment