Sepucuk Surat dari Fadli untuk Bupati Mamuju

MAMUJU, MEDIAEKSPRES.id – Badannya kurus, tingginya tak lebih dari 140 cm. Tapi semangatnya menyala bak cahaya sang Fajar. Di rumah berukuran 3×4 meter, Fadli dan ibunya berlindung dari sengat mentari, dinginnya malam, dan desiran hujan. Dari balik dinding kayu istananya, pemuda 26 tahun asal Kalukku itu menitip sepucuk surat untuk Bupati Mamuju.

Perjalanan ke Kalukku

“Iccank sudah di sini, cepatmi!” perintah Pemred Mediaekspres.id, Irwan dari seberang telepon. Menandakan kegelisahan dan kegusaran lantaran terlampau lama menunggu. Sehari sebelumnya, kami memang berencana menuju Kecamatan Kalukku – salah satu pusat swasembada pangan di Kabupaten Mamuju. Di balik indahnya hamparan persawahan di wilayah itu, tersimpan seribu satu macam isu yang merangsang nalar jurnalistik.

Gerimis hujan masih setia saat kereta besi yang kami tumpangi keluar dari perumahan semi elit di Mamuju tersebut. Suatu kebanggaan karena sopir yang membawa saya dan Irwan adalah Kepala Suku Mediaekspres.id, Muh. Iksan Hidayah – Iccank sapaan akrabnya.

Mobil pun melesat melalui jalan tua di depan Kampus UNIKA, jalur alternatif  menuju ke arah utara Mamuju. Selama perjalanan, kami hanya sekali dua kali berbicara. Maklum, bulan puasa wajib tanpa rokok. Dan pastinya, tanpa kehadiran pemantik inspirasi itu, seuntai kata pun sulit untuk keluar. Sekira 40 menit kami menikmati keheningan tersebut.

Tiba di Kalukku, kami langsung menjemput salah satu kru Mediaekspres.id, Lucky. Pria tinggi semampai ini memang berdomisili di Kalukku, tepatnya di Kelurahan Sinyonyoi Selatan. Selain mengumpulkan informasi, Lucky juga seorang pencari buah yang ulet.

Agenda pertama tim Mediaekspres.id adalah menyelesaikan PR tentang isu politik, yang beberapa hari ini viral di media sosial hingga menjadi buah bibir di tengah-tengah masyarakat Mamuju.

Selesai dengan cerita politik, kami melangkah ke agenda selanjutnya. Menggali lebih jauh kisah soal Fadli, si penderita tumor yang rindu belaian pemerintah.

Waktu di arloji menunjukkan pukul 18:00 Wita. Sebelum menuju ke kediaman Fadli, kami berinisiatif mencari tempat untuk berbuka puasa dahulu. Setelah kontek-kontekan dengan seorang teman lama, Iccank menuntun perjalanan ke rumah teman tersebut.

Jadilah kami berbuka di kediaman Bung Malik, si teman lama.

Cerita Pilu Fadli        

Cerita soal Fadli ini kami dapat beberapa hari lalu. Berawal dari unggahan di beranda Facebook yang menandai akun Mediaekspres.id.

“Buat teman2, mohon bantuannya, saudara kita ini sangat membutuhkan dana buat kelangsungan hidupnya, adakah yg sudi membantunya, ats nama Fadli, domisili Tasiu Kec. Kalukku.” Begitu potongan caption dari akun Nabila Faizatul Afifah disertai foto Fadli yang sangat menyayat hati.

Usai memastikan alamat rumah Fadli lewat nomor telepon yang tertera di unggahan tersebut, kami pun beranjak dari kediaman Bung Malik.

Desiran hujan menemani kami menyusuri lorong pasar Tasiu, Kecamatan Kalukku. Rumah tempat tinggal Fadli memang berada di kompleks pasar. Berjarak sekira 200 meter dari jalan poros.

“Assalamualaikum!” salam Irwan sembari mengetuk daun pintu sebuah rumah yang lebih mirip gardu tersebut. “Waalaikumsalam!” sahut penghuni rumah.

Tampak dari luar bayangan tuan rumah dengan bantuan cahaya lampu Philips 8 watt yang menggelantung di dalam rumah itu. Berjalan agak tergopoh-gopoh ke arah pintu, posturnya seperti anak SD. Setelah membuka pintu, kami langsung mengenali sosok Fadli. Ia pun mempersilahkan kami masuk.

Di dalam rumah itu kami juga disambut oleh Resmi (52), ibunda Fadli yang selalu setia merawat buah hatinya. Sosok malaikat bagi Fadli di tengah ketidakadilan dunia.

Resmi selama ini terpaksa harus berjuang sendiri menghidupi anak-anaknya, setelah ayah Fadli meninggal dunia beberapa tahun lalu.

“Saya punya empat anak, yang tertua di Bulukumba, anak kedua Fadli, anak ketiga sudah tinggal bersama suaminya, yang terakhir tinggal di rumah keluarga,” kata Resmi.

Tanda-tanda Fadli mengalami kelainan memang sudah terlihat sejak dirinya masih balita. Ada benjolan kecil di sekitar mata kirinya. Namun, Resmi tidak mengetahui benjolan kecil itu ternyata bibit tumor.

Barulah saat Fadli menginjak bangku sekolah menengah pertama, orangtuanya melihat keanehan pada benjolan yang semakin lama semakin membesar. Sayangnya, waktu itu Fadli menolak dioperasi. Hingga ia berumur 26 tahun, benjolan tersebut sudah menutupi hampir setengah wajah Fadli.

Menurut Resmi, Lurah Kalukku pernah menyuruh keluarga tersebut untuk ke kantor kelurahan. Kemungkinan bakal ada bantuan dari pemerintah. Saat Resmi dengan penuh harap mendatangi lurah, sang pejabat justru tak ada di tempat.

“Lurah tahun lalu pak. Saya di suruh datang ke kantor, eh, ternyata pak lurah tidak masuk kantor. Sejak itu, tidak adami lagi kabarnya,” kisah Resmi.

Hingga akhirnya, entah karena diliputi rasa bosan akan tumor yang menggerogoti tubuhnya, Fadli tegas meminta agar dioperasi. Permintaan Fadli itu wajib dipenuhi Resmi. Dengan sedikit tabungan dan bantuan keluarga, Resmi membawa anaknya ke Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Saat itu akhir November 2019.

Setelah mengikuti serangkaian proses pemeriksaan medis, Fadli dan ibunya harus menerima kenyataan pahit. Dokter tidak berani melakukan operasi terhadap Fadli karena sangat berisiko. Kata Resmi, benjolan itu sudah sampai ke otak anaknya.

Sekarang, Fadli tetap hidup. Semangatnya tetap tinggi menatap hari esok. Ia pun rajin ke masjid, mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

Salah satu warga sekitar kediaman Fadli – yang kami sapa Daeng, mengatakan bahwa pemuda penderita tumor itu selalu berada di masjid. Fadli tak sedikitpun minder atas keadaannya.

“Selalu di masjid itu (Fadli), ini pi ada korona baru jarang-jarang mi ke masjid,” cerita Daeng.

Tapi, Fadli butuh jaminan untuk kelangsungan hidupnya. Fadli, anak Kalukku yang meminta belaian dari bapaknya di Sapota sana.

“Selama ini saya biasa belajar bongkar-servis Hp. Kalau seandainya bisa, bapak bupati bantuka’ berikan pekerjaan, baru ada saya pakai hidup. Kasihan juga mama kerja terus sendiri,” lirih Fadli saat ditanya tentang harapannya.

Ia berharap suratnya ini dibaca oleh sang bapak di Kantor Daerah.

Sejam berlalu, kami pun pamit. Meninggalkan Fadli dengan raut wajah yang terlihat penuh harap.

Penulis: Shermes

Quotes of the day “Definisi kesepian yang sebenarnya adalah hidup tanpa tanggung jawab sosial.”

Goenawan Mohamad

Comment