Menjurnaliskan Jurnalis

MEDIAEKSPRES.id – Hari Buruh yang sudah berlalu itu tidak lagi seperti biasanya. Hari Buruh jika seperti biasanya adalah riuh para manusia jadi-jadian di jalan raya, yang jika Hari Buruh maka ia pada detik itu adalah buruh. Jika Hari Buku maka ia di detik itu adalah pembaca buku.

Namun jika sudah terlepas dari hari yang kebanyakan tidak diketahui asal muasal harinya, semua kembali seperti biasa. Teriakan hidup kaum buruh kini melebur dengan sikap apatis, ketika buruh dengan massal di-PHK di berbagai negara. Dan buku-buku masih tetap pada posisi saat terakhir diambil gambarnya untuk kebutuhan dunia maya. Berdebu dan tidak tersentuh. Dan pers.. Hari Pers tiba-tiba saja banyak yang menjadi pers. Hehe.

Tentu tidak menjadi masalah siapa-siapa, ketika kehidupan seseorang begitu merekah pada maya — namun layu pada kenyataan. Di masa pandemi ini, hidup dalam dunia maya adalah bentuk mempertahankan perasaan yang mulai dihantamkan kesedihan atas segala yang terjadi pada negeri — atas segala duka yang tergambarkan untuk nyawa-nyawa yang melayang — atas segala yang membuat luka karena tidak mampu menjalankan segala hal seperti biasanya. Serta atas segala senyum yang dirindukan di balik masker itu.

Hari ini adalah hari di mana para jurnalis mendeklarasikan bahwa hari ini adalah miliknya. Seluruh jagad dunia mayaku turut mengucapkan. Ada yang mengidentikkan jurnalis dengan buruh. Lantas apakah benar jurnalis itu buruh?

Jika bicara soal buruh, alam pikir saya sendiri akan menggiring saya kepada salah seorang yang pemikiriannya banyak dianut manusia-manusia bumi. Dialah Marx. Menurut Marx, konflik disebabkan oleh faktor Ekonomi. teori Marx ini dikenal dengan determinisme ekonomi. Yang dimaksud dengan faktor ekonomi disini adalah penguasaan terhadap alat produksi oleh kaum Borjuis.

Sekarang terjadi konflik perihal pendefinisian buruh itu sendiri dan menempatkannya pada seorang wartawan. Faktor ekonomi kah yang memantik hal tersebut?

Sebagian orang berpendapat bahwa profesi jurnalis tidak bisa dijadikan sebagai buruh atau pekerja kontrak.  Banyak wartawan menolak disebut buruh. Bayangan mereka tentang “buruh” adalah pekerja kasar yang bekerja di pabrik, layaknya sopir, kuli proyek konstruksi, dan pekerjaan kasar yang menggunakan otot.

Sedangkan jurnalis, orang yang pada masa kejayaan media cetak, ia di sebut sebagai “kuli tinta” lalu kemudian seiring dengan berjalannya waktu, istilah kuli tinta masih juga dipakai di beberapa kalangan. Biasanya itu hanya dipakai oleh para wartawan atau jurnalis senior, bukan sudah tua, maksud saya yang sudah lama sekali bergelut di dunia wartawan. Namun jika ada yang sedang tersinggung dengan umur yang tua, maka bisa jadi anda memang sudah tua, hehe.

Nah, jika pekerjaan buruh identik dengan pekerjaan kasar, maka jurnalis yang hanya duduk manis mempermainkan pemikirannya dan bermain-main dengan imajinasinya tidak akan membuat tangannya kotor atau membuat tangannya lecet dengan keyboard atau pena. Tidak akan membuat keringatnya berkucuran karena mengetik. Kecuali ngetiknya di tempat panas, keringatan dong.

Okelah lalu bagaimana pada wartawan yang turun ke jalan untuk meliput aksi atau segala kejadian yang membuatnya mesti seperti wasit, alias orang yang lari sana lari sini. Pekerjaannnya tergolong kasar dan  mengucurkan keringat, maka diakah buruh?

“Ih, saya bukan buruh. Saya ini pekerja professional. Jangan samakan dengan kuli proyek jalanan,” tak jarang ada wartawan yang berpikir demikian.

Jika Anda adalah wartawan yang menolak disebut buruh, namun anda kerap kali yang ditugaskan meliput demonstrasi, ada baiknya anda juga melakukan refleksi diri dan merenungkan posisi anda dalam struktur industri media massa. Dengan tidak mengorganisasikan diri dalam serikat pekerja dalam perusahaan media sebagai bentuk bahwa anda terbuai “kesadaran palsu” dan “kebanggaan semu” sebagai kaum profesional itu.

Oke, baiklah. Buruh saya tarik maknanya di sini oleh pemikiran Marx saja. Kesimpulannya adalah jurnalis bukan buruh! Yang buruh adalah sistem yang dijalankan oleh jurnalis.

Baiklah berbicara sesama pers, yah. Apakah anda bekerja siang-malam disuruh membuat tulisan? Disuruh untuk meliput di berbagai aksi dan kalian olah dalam bentuk berita? Apakah kalian adalah para jurnalis yang bekerja lebih banyak daripada para petinggi media anda lalu anda mendapatkan upah yang lebih kecil?

Maka jangan nafikan diri, anda buruh mas bro dan mba bro. Anda buruh sedari sistem! Itulah yang disebut penyerapan. Anda sedang dalam ranah penyerapan sehingga anda disebut sebagai buruh, kuli tinta, dan lain sebagainya — yang mengarahkan anda pada profesi berat dan kasar namun upahnya tidaklah cukup menutup kebutuhan.

Lihatlah para kuli proyek jalanan, mereka yang panas-panasan namun upah pengawas proyek yang hanya melihat-lihat justru lebih besar. Penghasilan bos dari balik proyek itu lebih besar lagi. Nah, sedari sistem ini, apa yang bedakan kalian para Kuli Tinta dengan kuli proyek jalan?

Ketika para bos di suatu pabrik hanya duduk manis dan para buruh yang mengucurkan keringat justru mendapat upah yang kecil. Balik saja jika ingin menyederhanakan. Anda yang bekerja siang malam mencari berita dan menulisnya sampai kadang begadang karena kejar deadline, namun petinggi media selaku yang punya modal yang mendapat keuntungan lebih banyak. Maka anda buruh jika sistem media kalian seperti itu (mediaekspres.id gak termasuk, ampun pimred) hehe.

Tentu beda media maka beda kebijakan. Maka jika kalian adalah orang yang sedang mau bergelut di dunia pers, masuklah pada media yang menjurnaliskan jurnalis.

Tapi salahnya di mana sih? Yang punya modal adalah bosnya, wajarlah dia dapat keuntungan lebih besar. Toh dia yang mendirikan perusahaan itu dan membuat buruh punya tempat kerja. Berpikir kayak gitu juga?? Tertawa dulu yuk!

Di sinilah kekejaman uang wahai manusia bumi. Ketika kepentingan dan perhatian justru lebih terpusat pada uang dan mengerdilkan kemanusiaan, ketika uang menutup mata dan hati untuk memandang manusia sebagai teman untuk berbagi kasih, ketika uang dan umpatan kata “bisnis tidak memandang sodara” sudah membunuh berbagai jalinan yang semestinya saling dileburkan semasa kita menikmati hidup di dunia, ketika uang menjadi tirani yang memisahkan manusia satu dan manusia yang lainnya, ketika uang menutup hati sehingga tidak ada setitikpun rasa kasihan.

Ketika uang lebih besar dibanding rasa kemanusiaan. Di titik itu kata “memanusiakan manusia” pas dilontarkan.

Saya sering bilang kepada siapa saja yang ingin menjadi pendamping hidup saya, agar kiranya yang ditumbuhkan oleh kita hanyalah kesadaran dan yang dimatikan oleh kita hanyalah pilu anak jalanan. Mengapa? Sebab saya begitu percaya, adanya hubungan antar-manusia tidaklah bermakna apa-apa tanpa kesadaran dan kepedulian antar sesama.

Dulu, posisi wartawan sebenarnya lemah. Saya katakan begitu sebab pemilik media dengan mudah menyingkirkan dan memecahbelah mereka, jika mereka dirasa sudah menjadi beban, atau pemilik media ingin melakukan restrukturisasi bisnisnya.

Jika sudah terancam di-PHK atau kehilangan pekerjaan yang menjadi sumber nafkah, barulah terasa oleh para wartawan ini bahwa “Kita benar-benar buruh biasa.” Begitulah. Karena kalau semua wartawan sudah menyadari posisi dirinya sebagai buruh. Buruh sedari sistem.

Barangkali tragedi tersebut yang membuat banyak sekali media yang berdiri untuk sekarang ini. Itu bentuk penguatan dari para jurnalis yang berdiri di suatu media dan berhenti di media tersebut, sebab sudah mengetahui seluk-beluk media. Lalu kemudian memutuskan untuk membuat media sendiri.

Seiring dengan berjalannya waktu, wartawan kemudian dibenarkan secara sah dan sadar bahwa mereka adalah buruh. Untuk sekarang ini, definisi sederhana buruh adalah “orang yang bekerja pada majikan, dan ia mendapat upah dari kerjanya tersebut.”

Kini wartawan adalah juga suatu profesi karena sudah memiliki kode etik yang disebut Kode Etik Jurnalistik. Itu membuatnya sebagai suatu profesi yang di mana pekerjanya mendapatkan upah dari majikan atau pemilik media yang mengatur pemasukan di bidang industri, lalu dari situlah para bagian redaksi mendapatkan upah.

Sedikit penutup untuk pemikiran saya yang fakir pengetahuan ini, saya ingin sedikit mengangkat tulisan seorang wartawan di salah satu medianya pada tahun 2003. Sedikit banyaknya ia menuliskan, “Kalau kita mengacu kepada KKWT (kesepakatan kerja waktu tertentu), baik yang diatur dalam peraturan pemerintah, Kepmemnaker, maupun UU Ketenagakerjaan, menjadikan wartawan sebagai kuli atau pekerja kontrak tentu tidak diperbolehkan. Kecuali industri media massa itu ingin menyiasati Undang-Undang yang berlaku di negara kita untuk sebuah kepentingan tertentu. Orang yang tidak taat hukum memang sering mengatakan bahwa, “hukum di-buat-kan untuk dilanggar.”

“Jika media massa (baik cetak maupun elektronik) yang notabene sebagai tempat terakhir untuk bersandar warga menyampaikan berbagai ragam keluh kesah, ternyata juga tidak taat hukum. Sebagai seorang jurnalis mungkin kita hanya bisa mengelus dada. Kepada siapa lagi masyarakat berharap, karena semua lembaga pemerintah dan parlemen, kini juga sudah tidak bisa dijadikannya lagi sebagai tempat mengadu.”

Pernyataan tersebut cukup menarik untuk saya, sebab saya juga sangat percaya bahwa media adalah tempat mengadu terakhir untuk masyarakat yang terbelenggu atas keadilan yang tidak ia dapatkan. Zaman dahulu, media adalah alat untuk perang sedari pena.

Media adalah tempat mengungkap kebenaran, profesi wartawan dulu kala adalah tak lain sebagai sosok yang pemberani karena mampu dan mau  mengungkap kebenaran di tengah rezim-rezim yang berkuasa.

Media yang sekarang sungguh memiriskan hati dan kepala saya ketika sering diganrungi dengan istilah “jual beli kebenaran”.

Apapun itu, selamat Hari Kebebasan Pers. Perlu sama-sama kita mengingat bahwa tanggal 3 Mei diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day, yang ditujukan untuk merayakan prinsip-prinsip dasar kebebasan pers dan mempertahankan hak tersebut.

Serta sebagai penghormatan kepada jurnalis yang telah kehilangan nyawa mereka dalam menjalankan tugas. Maka Jadilah para wartawan yang berada pada koridor kebenaran tanpa memanjangumurkan umpatan jual beli kebenaran. Salam hormat untukmu para aktivis media.  Panjang umurlah untuk semua hal-hal baik.

Penulis: Firdha Mutmainnah

Quotes of the day “Saya bukan apa-apa tapi saya harus menjadi segalanya.”

Karl Marx

Comment