MEDIAEKSPRES.id – Inspirasi bagi musisi bisa datang dari berbagai sisi. Jatuh cinta, patah hati, sampai keresahan akan kondisi sosial politik yang ada di sekitar. Inspirasi itu kemudian mereka suarakan melalui lagu, yang di satu titik bisa jadi sumber penghasilan.
Musik menjadi salah satu jalan mudah berbicara kepada penguasa. Tak perlu pakai megafon atau berteriak-teriak di depan gedung negara.
Tak heran bermunculan musisi-musisi yang menjadikan musik sebagai jalan bersuara atau sekadar mengomentari isu sosial politik. Ada band Slank, Supermen Is Dead, Nosstress, Navicula, Efek Rumah Kaca, Marjinal, hingga Iwan Fals.
Bukan cuma di Indonesia, musisi bernapaskan sosial politik juga pernah muncul di negara Eropa. Grup musik rock, The Clash.
Di akhir era ’70-an, tepatnya pada 1977-1978, Inggris mengalami resesi ekonomi hebat yang terasa begitu menyiksa bagi masyarakat. Hukum yang tidak berpihak rakyat membuat banyak orang tak mau lagi bekerja. Pengangguran pun meningkat hingga lebih dari satu juta orang.
Dalam kacaunya kondisi ekonomi Inggris saat itu, muncul grup musik The Clash yang dimotori oleh Joe Strummer (gitar, vokal), Mick Jones (gitar), Paul Simonon (bas gitar) dan Nicky ‘Topper’ Headon (drum).
Melalui karya-karyanya, The Clash membawa perubahan pada kondisi ekonomi serta cara pandang masyarakat Inggris pada masa pemerintahan itu.
Pada 1976, posisi drum diisi oleh Terry Chimes dan The Clash sudah memiliki karya yang cukup untuk membawa mereka keluar dari kekacauan ekonomi di Inggris, sekaligus menjadi grup musik besar di Amerika Serikat seperti Sex Pistols.
Namun, Chimes justru bertengkar dengan Strummer yang menolak keinginannya dan bersikukuh masih ingin berkarier di Inggris demi melawan pemerintahan serta membantu kaum buruh kala itu.
“Kita tidak boleh pergi. Radio hanya untuk ibu rumah tangga. Tidak ada yang melayani kami (kaum buruh). Hukum selalu menentangmu. Siapa punya uang, pasti berkuasa. Itu konyol,” ungkap Strummer yang saat itu masih berusia 22 tahun, seperti dilansir dejournal.id, Jumat (1/5/2020).
Dalam wawancara tersebut, gitaris Mick Jones mengatakan bahwa industri saat itu mengalienasi orang-orang. Semua perusahaan tidak peduli terhadap kesejahteraan dan hanya memberi upah kecil kepada buruh yang sudah rela bekerja keras.
Hal tersebut disetujui oleh Strummer. Ia mengatakan bahwa The Clash beruntung bisa mendapat jaminan sosial.
Jika tidak, artinya mereka akan menjadi sama seperti orang lain yang harus bersusah payah bekerja di pabrik-pabrik.
“Bisa saja aku harus menghabiskan 40 jam dalam satu minggu untuk mengangkat barang atau mencuci piring. Karena kami mendapat jaminan sosial, aku bisa membentuk rock ‘n’ roll band,” kata Strummer.
Berangkat dari kepeduliannya terhadap nasib buruk masyarakat, The Clash menelurkan sebuah album self-titled pada 1977. Melalui single ‘Career Opportunities’ di album tersebut, The Clash berusaha memberi tahu masyarakat bagaimana kondisi pekerjaan mereka saat itu.
“Career opportunities, the ones that never knock
Every job they offer you is to keep you out the dock
Career opportunities, the ones that never knock”
Lirik tersebut menggambarkan bagaimana buruh pabrik harus rela mendapat upah kecil dan pekerjaan hanya merupakan rutinitas yang membosankan. Selain itu, The Clash juga merasa pemerintah tak memberi edukasi lain agar masyarakat bisa menyejahterakan diri sendiri melalui bisnis atau pekerjaan yang lebih layak.
Jones pun menjelaskan bahwa sebenarnya masyarakat tidak perlu bekerja sebagai buruh pabrik lantaran di era itu teknologi sudah berkembang pesat. Menurutnya, anak-anak muda hanya harus bekerja karena nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua mereka.
“Tidakkah kaupikir teknologi sudah cukup mutakhir untuk menjalankan pabrik? Menurutku, ada stigma sosial saat seseorang menganggur. Anak muda malu jika tidak bisa bekerja,” ujar Jones.
Kehadiran The Clash di era ’70-an akhir memang bukan bertujuan menuntut pemerintah agar memberi upah yang layak pada buruh, melainkan agar masyarakat sadar bahwa mereka punya potensi untuk menjadi lebih dari sekadar buruh pabrik.
Sebagai pelaku dunia musik, The Clash memberi contoh dengan cara tidak mengikuti acara-acara mainstream di televisi atau radio BBC yang bergengsi bagi band di eranya.
Selain itu, saat label rekaman mereka, CBS, memberikan mobil limosin, para personel The Clash justru mendonasikannya pada komite penambang di Wales.
Strummer menegaskan, peduli pada keadaan sosial merupakan akidah dari sebuah grup musik rock ‘n’ roll. Membawa perubahan serta memberi edukasi adalah senjata dalam melawan kemiskinan dan menyejahterakan kaum buruh.
“Belajarlah dari kesalahan. The Rolling Stones membuat kesalahan. Tapi aku mau melakukan hal yang berguna. Aku takkan habiskan uang untuk membeli narkoba,” ucap Joe.
“Aku akan buat radio dengan uangku sendiri. Aku ingin aktif bersosial. Aku tak mau tinggal di vila mewah di Prancis sambil menonton televisi berwarna,” tambahnya.
Meski pada 1983 Mick Jones hengkang dan karier The Clash berakhir seiring dengan dirilisnya album terakhir mereka ‘Cut The Crap’ pada 1985, Strummer masih aktif bekerja di dunia seni sekaligus sosial. Bersama grup musik terakhirnya, The Mescaleros, Strummer masih ambil peran dalam konser amal untuk buruh.
“Aku ingin semua orang tahu bahwa kami antifasisme, antikekerasan, dan antirasisme. Kami peduli,” kata Strummer.
Sumber: dejournal
Editor : Mediaekspres.id
Quotes of the day “Saya pegang ajaran Multatuli bahwa kewajiban manusia adalah menjadi manusia.”
Pramoedya Ananta Toer
Comment