CERPEN: Cinta yang Toleran

MEDIAEKSPRES.id – “Bro, ke rumah Mila yok!” ajak Frans.

Usman tidak menggubris. Ia masih sibuk mengutak-atik ponsel jadulnya. Ponsel Nokia tipe 8250 itu memang sudah bertahun-tahun menemani hidup Usman.

Woi, serius amat kamu.” Frans kali ini teriak sembari menepuk punggung teman kostnya itu.

Anjir!!! Maksudmu apa?”

“Tidak lihat saya lagi serius? Kalau Hp ini melayang ke muka kamu, baru tahu rasa,” ketus Usman.

Jantungnya hampir copot karena aksi Frans tadi. Meski sebenarnya ia hanya bercanda tentang Hp yang akan melayang ke muka Frans. Usman pasti tidak rela Hp-nya sampai lecet hanya karena dibenturkan ke muka temannya itu.

Apalagi, Frans dan Usman sohib sejak lama. Mereka berasal dari kabupaten yang sama — dan sekarang sedang menempuh pendidikan di kampus yang sama pula.

“Jangan marah bro! Kamu juga yang salah, saya kan dari tadi bicara, kamu tidak balas-balas,” ucap Frans, berusaha menenangkan situasi.

“Ia.. ia. Tadi kamu bilang apa?” tanya Usman.

“Temani saya ke rumah Mila, bisa kan?”

“Tadi saya telepon dia, katanya dia ada di rumah. Saya sudah lama tidak ketemu Mila, rada-rada kangen gitu.” Frans berusaha meyakinkan Usman, betapa pentingnya kunjungan ke Mila.

Meski belum pernah menyatakan perasaan, Frans merasa ada ikatan batin antara dirinya dengan si kembang kampus itu.

Usman tertegun sejenak. Jemarinya masih berkonsentrasi di Hp jadul yang tombolnya memang agak bermasalah.

“Ini sudah jam 10 malam Frans. Kamu offside kalu nekat ke sana.”

“Lagipula, apa kamu tidak takut? Bapaknya Mila itu ustaz terpandang di kota Mamuju. Masih berani bro?” tantang Usman.

Frans tak menjawab. Dia hanya cengengesan.

“Memang apa alasan kamu suka sama Mila?” selisik Usman.

“Dia anggun bro; cantik, cerdas, lembut, pokoknya memancarkan aura keibuan. Cewek seperti itu memang selera saya,” jelas Frans.

Motivasinya bertambah setelah mendengar penjelasan Usman tentang status orangtua Mila. Bagi Frans, tantangan merupakan jembatan pembuktian rasa cinta ke sang pujaan hati.

Tapi ia juga sadar, waktu sudah larut malam. Bertamu ke rumah Mila pada jam itu, sama saja dengan memproklamirkan bahwa dia seorang pemuda badung, tak punya tata krama.

“Oke deh, besok saja kita ke sana. Main catur yok!” ajak Frans sambil melangkah menuju kotak catur di samping rak buku mereka.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 01:30 dini hari. Mereka kelelahan setelah melalui pertarungan panjang 6 set.

“Saya mau istirahat Man, masalahnya saya ambil jadwal pagi ibadah di gereja,” ujar Frans tak mampu menyembunyikan rasa kantuknya.

“Oke, saya salat Tahajud dulu ya.” Usman bersiap mendekatkan diri ke Sang Ilahi.

***

Suasana kota hari itu tampak cerah ditempa sinar mentari dari arah Anjoro Pitu. Jalan-jalan terlihat ramai dengan lalu-lalang kendaraan. Aktivitas masyarakat memang agak tinggi di hari Minggu – berbeda dengan hari biasa.

Frans sudah 30 menit berdiri di depan cermin, lengkap dengan setelan baju kemeja hijau lengan panjang motif kotak-kotak — dipadukan celana jeans hitam model cutbray.

Pemuda itu sedang merapikan rambut mohaknya dengan pomade. Tak lupa ia menyemprotkan beberapa tetes parfum Malaikat Subuh ke pakaiannya.

“Usman, kamu sudah siap?” tanya Frans yang sudah tak sabar beranjak dari kamar kost itu.

Sayup-sayup ia mendengar suara dengkuran di belakangnya. “Astaga, kamu masih tidur. Ini sudah jam 10 pagi bro,” kata Frans berusaha membangunkan Usman yang seakan sedang melayang-layang di alam mimpi.

“Addu, sakit!” Usman terperanjat setelah Frans mencabut sehelai bulu kakinya.

“Kamu sendiri saja ke sana, kepalaku agak pusing karena semalam lambat tidur,” ucap Usman. Ia mencoba mencari alasan agar tak terlibat dalam aksi ‘nekat’ Frans.

“Ya, jadi?”

Masa’ saya sendiri ke sana. Saya mau bahas apa kalau bapaknya Mila ada di rumah?” Frans bingung. Semangatnya yang menggebu-gebu, seketika turun drastis.

Dirinya sudah membayangkan akan bertemu seorang ustaz terpandang. Frans pastinya akan melalui interview singkat dari pak ustaz, tentang latar belakangnya; terutama agamanya.

Namun kadung, rasa cinta Frans ke Mila sudah di ubun-ubun. Apalagi membayangkan senyum manis pujaan hatinya itu, semangat ’45 Frans kembali berkobar. “Nasi pandan tak dimakan buk siti, cinta dan perjuangan tak mungkin terhenti.” Prinsip itu bergelora di hati Frans. Ia memacu sepeda motornya ke rumah Mila meninggalkan Usman yang masih terlelap.

***

“Kamu sendiri Frans?” Mila membuka pintu pagarnya.

“Ia, Usman masih tidur. Kamu sama siapa di rumah?” kata Frans balas menanyai Mila.

“Abi di dalam, kalau Umi lagi ke pasar. Yok masuk Frans!” Mila mempersilahkan Frans duduk di ruang tamu sembari melangkah ke dapur untuk membuatkan minum tamunya itu.

“Assalamualaikum, Ehk, ada tamu rupanya.”

Frans dikagetkan suara dari arah pintu yang ternyata Ustaz Ariq, ayahanda Mila. “Waalaikumsalam om,” balas Frans.

“Sudah lama nak?”

“Saya baru saja datang om.”

“Ow, ia. Om kebetulan dari kebun di samping rumah lihat perkembangan tanaman kacang panjang yang saya budidayakan,” sambung pak ustaz.

Frans hanya mangut-mangut.

Mila pun datang dengan membawa nampan berisi minuman dan beberapa macam kue khas Mamuju. Setelah mempersilahkan Frans menikmati hidangan, Mila lalu minta izin kembali ke dapur.

Jadilah Frans head to head dengan Ustaz Ariq. Frans memberanikan diri membuka obrolan soal tanaman kacang panjang yang sedang di-budidaya pak ustaz. Percakapan keduanya pun mengalir. Hingga akhirnya bahan obrolan sampai pada apa yang ditakutkan Frans — agama.

“Nak Frans agamanya apa?” tanya Ustaz Ariq.

“Saya Kristen om,” jawab Frans agak gugup.

“Ia, saya sudah menebak dari namanya. Hehe. Nama lengkapnya siapa?” sambung pak ustaz.

“Frans Toding,” jelas Frans.

Ustaz Ariq lalu melanjutkan ceritanya. Ternyata ia juga punya sahabat seorang nasrani di masa SMA dulu. Ayah Mila itu menceritakan tentang indahnya toleransi yang dibangun antara dua sahabat berlainan keyakinan. “Taman yang ditumbuhi hanya satu jenis bunga tak akan elok dipandang. Butuh banyak jenis bunga untuk membuat taman menjadi indah,” kata Ustaz Ariq.

Beragam suku, agama, dan ras di Indonesia, dianggap Ustaz Ariq kekayaan bangsa yang tak perlu diartikan sebagai perbedaan.

Frans akhirnya lega. Ayah Mila ternyata ustaz yang punya sikap toleransi tinggi.

Percakapan mereka sudah hampir satu jam. Ustas Ariq kemudian beranjak dari kursinya. “Saya salat dulu ya nak,” kata sang ustaz ke Frans sembari melangkah ke ruang tengah.

Sorry Frans, saya tadi masak.” Mila menjelaskan alasannya tidak bergabung dengan Frans dan ayahnya tadi.

“Tak apa Mil. Cerita sama bapakmu tadi seru juga, banyak pelajaran yang bisa diambil dari beliau,” ungkap Frans.

“Tapi tumben kamu mau jalan ke rumah. Sebenarnya ada apa?” heran Mila.

Frans memang baru dua kali bertandang ke rumah Mila. Yang pertama, saat dirinya ingin meminjam novel Roman Picisan. Itu pun dirinya berdua bersama Usman. Selebihnya, Frans dan Mila hanya bertemu di kampus dan pendopo jika ada kegiatan.

Frans bingung mau jawab apa. Nyalinya tiba-tiba ciut. Paras Mila yang mirip Sophia Latjuba versi hijab seakan membuat lidah Frans terkunci. Ia hanya meresapi keindahan yang terpampang di depan matanya.

Seketika mereka dikagetkan suara dering telepon Mila. “Halo Umi,” ucap Mila menjawab telepon yang ternyata dari ibunya.

“Jemput Umi ya nak, tukang ojek yang tadi belum datang-datang,” suara sang ibu dari seberang telepon.

Mila pun harus bergegas menjemput ibunya. “Maaf ya Frans, Umi minta dijemput,” ia seakan tidak enak hati dengan Frans.

“Ia Mil, itu wajib. Kasihan Umi-nya kalau kelamaan menunggu.”

“Saya juga mau pamit,” kata Frans menyembunyikan rasa kecewa.

Setelah pamit ke Ustaz Ariq, Frans dan Mila meninggalkan rumah itu. Mereka melalui jalur berbeda. Mila menuju pasar, sementara Frans pulang ke kostnya.

Sepanjang perjalanan Frans sangat kesal dengan dirinya sendiri. Kesempatan mengungkap perasaan ke pujaan hati, ia lepas cuma-cuma. Frans hanya bisa menggerutu dalam hati “kamu memang banci Frans.”.

***

“Usman mana ya?”

“Tidak biasanya dia pergi tanpa Hp lawasnya ini.”

Frans heran mendapati kamar kostnya kosong. Usman tak tampak batang hidungnya. Ia hanya menemukan Hp kebanggaan sahabatnya itu di atas meja.

Beberapa menit kemudian Hp itu berdering, tanda ada SMS yang masuk. Frans pun iseng membuka isi pesan singkat tersebut.

“Kak, tadi Frans ke rumah,” isi pesan itu. Frans bagai disambar petir saat melihat nama si pengirim. “My heart Mila”.

Sejenak Frans merenung. Rasa cemburu dan amarah bercampur, meraung-raung di hatinya. Ia menyesali sikap Usman yang tidak memberi tahu hubungannya dengan Mila.

Frans kemudian meminta pencerahan lewat doa. Setelah merapalkan doanya, emosi dalam hati Frans berangsur-angsur hilang. Ia pun sadar, sahabatnya itu ingin menjaga perasaan Frans. Usman tak mungkin dengan lugunya menceritakan yang sebenarnya.

Ia mengambil sisi positif bahwa cinta yang tulus itu tak harus berbalas. Mengetahui sang pujaan hati bahagia; apalagi dengan sahabatnya, merupakan balasan paling hakiki.

Tak berapa lama, Usman datang membawa kantong kresek berisi berbagai macam kuliner; tahu isi, pisang molen, tempe penyet, dan jalangkote.

“Bagaimana kunjungannya tadi bro?” tanya Usman, penasaran.

“Saya cuma mau mengetahui, bagaimana orang tua dari kekasih sahabatku,” jawab Frans, tenang.

“Kamu beruntung bro. Dia cantik, rajin. Orangtuanya juga sangat bijaksana. Jaga dia baik-baik!”

Usman hanya diam. Tak mampu berkata-kata.

“Persahabatan lebih penting daripada sebatas kekaguman pada lawan jenis. Kamu saudaraku di kota ini, ayo kita nikmati gorenganmu,” kata Frans sembari memeluk Usman.

Penulis: Shermes

Comment