MEDIAEKSPRES.id – Tanggal 1 Mei diperingati sebagai hari buruh sedunia atau sering disebut May Day. Para buruh biasa memperingati hari itu dengan menggelar aksi damai.
Di Indonesia sendiri, ada kisah kelam yang tak bisa dilupakan oleh kaum buruh, peristiwa berdarah Marsinah. Tepatnya pada masa rezim Orde Baru (Orba) — Sekira 27 tahun lalu.
Marsinah adalah seorang aktivis dan buruh pabrik zaman pemerintahan Orba. Berkerja di PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993, setelah menghilang selama tiga hari.
Mayatnya ditemukan di hutan — di Dusun Jegong — Desa Wilangan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam autopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya) menyimpulkan, Marsinah yang saat itu baru berusia 24 tahun, tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama. Kasus ini menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), dikenal sebagai kasus 1773.
Satu bulan sebelum Marsinah dibunuh, Presiden Soeharto menghadiri pertemuan HAM di Thailand. Dalam forum itu, Soeharto menyatakan bahwa RUU HAM yang dirancang PBB tidak bisa diterapkan di negara-negara Asia.
Jenderal diktator itu menjelaskan, warga di Asia tak bisa bebas mengkritik pemimpinnya, beda dengan budaya Barat.
Latar Belakang Pembunuhan Marsinah
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan Surat Edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi imbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya, dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok.
Imbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahnya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putra Surya (PT. CPS) Porong membahas surat edaran tersebut dengan resah.
Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250.
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putra Surya yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut, antara lain dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa tanggal 2 Mei 1993 di Tanggulangin, Sidoarjo.
Pada 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.
4 Mei 1993, para buruh mogok total. Mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja.
Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Proses Penyelidikan
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim. Tim itu beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS. Ia satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya.
Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas.
Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak, sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.
Komite Solidaritas Dibentuk
Tahun 1993, dibentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM). KSUM adalah komite yang didirikan oleh 10 LSM. KSUM merupakan lembaga yang ditujukan khusus untuk mengadvokasi dan investigasi kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah oleh aparat militer.
KSUM melakukan berbagai aktivitas untuk mendorong perubahan dan menghentikan intervensi militer dalam penyelesaian perselisihan perburuhan. Munir menjadi salah seorang pengacara buruh PT. CPS melawan Kodam V/Brawijaya, Depnaker Sidoarjo dan PT. CPS Porong atas PHK sepihak yang dilakukan oleh aparat Kodim Sidoarjo terhadap 22 buruh PT. CPS Porong, yang dianggap sebagai dalang unjuk rasa.
Film dan Lagu
Kisah Marsinah ini kemudian diangkat menjadi sebuah film oleh Slamet Rahardjo, dengan judul “Marsinah (Cry Justice)” (imdb.com).
Film berbiaya sekira Rp 4 miliar itu sempat menimbulkan kontroversi. Salah satu penyebabnya adalah munculnya permintaan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea yang meminta pemutaran film itu ditunda.
Seniman Surabaya dengan koordinasi penyanyi keroncong senior Mus Mulyadi meluncurkan album musik dengan judul Marsinah. Lagu ini diciptakan oleh komponis MasGat untuk mengenang jasa-jasa Marsinah.
Sebuah band beraliran anarko-punk yang berasal dari Jakarta bernama Marjinal, menciptakan sebuah lagu berjudul Marsinah, yang didedikasikan khusus untuk perjuangan Marsinah. Lagu ini dibawakan sekaligus dalam 2 albumnya, yaitu album termarjinalkan dan album terbaru mereka bertajuk predator, masing-masing dalam versi yang berbeda.
Pentas Drama Monolog “Marsinah Menggugat”
Pada 26 November 1997 malam, pentas drama monolog “Marsinah Menggugat” oleh Ratna Sarumpaet dan Teater Satu Merah Panggung di gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur (TBJ), Jl. Gentengkali, Surabaya, dilarang pihak kepolisian.
Sebelumnya pentas sudah dilakukan di tujuh kota, terakhir dua hari sebelumnya pentas tersebut sukses di Malang. Pentas ini digelar oleh panitia pertunjukan dari Korp Puteri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Kopri PMII).
Sebelumnya, pihak panitia melayangkan surat pemberitahuan ke Polda Jatim pada 12 November 1997. Menurut petunjuk pelaksanaan (Juklak) Polri yang dikeluarkan oleh Kapolri, pertunjukan kebudayaan semacam teater atau drama, tidak memerlukan izin, hanya pemberitahuan.
Surat izin pemakaian gedung juga sudah dikeluarkan Taman Budaya Jatim tertanggal 20 November 1997.
Pukul 15.00 WIB, pihak panitia diminta menemui langsung Kasat IPP di Polwiltabes.
Pukul 16.00, pintu ditutup aparat dan dijaga ketat. Mereka yang datang untuk menonton “Marsinah Menggugat” dilarang masuk.
Sekitar pukul 19.00, para penonton sudah berdatangan. Mereka bergerombol di depan pintu masuk ditutup dan dijaga beberapa petugas. Sementara Ratna Sarumpaet dengan beberapa panitia tetap bertahan di panggung pertunjukan. Ia bersikeras tetap di tempat itu sampai jadwal sewa gedung untuk pertunjukan selesai, pukul 23.00 WIB.
Pukul 19.20 WIB, Ketua PMII Jawa Timur dan Ketua Panitia Kegiatan dengan didampingi beberapa aktivis FKMS bernegosiasi dengan aparat untuk meminta izin masuk, tetapi gagal.
Sekitar pukul 20.00, Ratna meminta maaf kepada penonton yang datang bergerombol di depan pintu. Ratna dengan memanjat pagar, mengucapkan maafnya dan kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Sekitar pukul 21.00, penonton yang tidak bergeming, mulai dihalau petugas. Pengamanan pintu TBJ ditambah dengan puluhan Polisi Unit Reaksi Cepat (URC) Polwiltabes, Satuan Perintis Polresta Surabaya, Brimob, dan beberapa aparat dari KODAM V Brawijaya serta sejumlah besar satuan intelejen.
Setelah penonton pulang, sekitar pukul 23.00 WIB, Ratna bersama panitia keluar dan terus dikawal petugas.
Sumber: WikipediA Marsinah
Editor : Mediaekspres.id
Quotes of the day “Marsinah adalah sebuah cermin perlawanan buruh dalam bibit tumbuhnya gerakan buruh.”
Munir
Comment