MEDIAEKSPRES.id – Pluralisme adalah paham yang meyakini keberagaman sebagai alat untuk hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, gologan, agama, adat, hingga pandangan hidup.
Pluralisme mengimplikasikan tindakan yang bermuara pada pengakuan kebebasan beragama, kebebasan berpikir dan kebebasan mencari informasi.
Setiap agama diposisikan memiliki kebenaran yang sama, semua menjanjikan kebaikan, membawa keselamatan, mengajarkan kehidupan penuh kasih sayang. Pemahaman ini selanjutnya menafikan kebenaran absolut dari sebuah agama demi mencapai kehidupan bersama yang toleran.
Untuk mencapai pluralisme diperlukan adanya kematangan dari kepribadian individu atau kelompok.
Ternyata, pada masa lampau paham serupa telah disebarkan oleh kelompok Teosofi.
Cara Pandang
Secara etimologis, teosofi berasal dari kata theo (Tuhan) dan sophia (ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan). Dengan demikian, secara literal teosofi berarti pengetahuan atau kebijaksanaan dalam memandang permasalahan ketuhanan.
Sepintas, bidang kajian Teosofi tidak jauh berbeda dengan teologi. Kendati sama-sama mengacu kepada pembahasan terhadap berbagai masalah ketuhanan, perbedaannya terletak dari bagaimana operasionalnya.
Jika Teosofi cenderung menukik pada inti permasalahan dengan menyelami misteri-misteri ketuhanan yang terdalam, maka teologi lebih menggunakan pendekatan spekulatif-intelektual dalam menginterpretasikan hubungan antara manusia, alam semesta dan Tuhan.
Teosofos (orang yang memahami kaidah Teosofi) dapat dikatakan sebagai seseorang yang mampu mengawinkan latihan intelektual teoritis melalui filsafat, dengan penyucian jiwa melalui tasawuf dalam mencapai pemahaman terkait masalah ketuhanan.
Tokoh paling berpengaruh dari Teosofi adalah Helena Petrovna von Hahn atau yang kelak dikenal dengan nama Madame Helena Petrovna Blavatsky, seorang perempuan keturunan bangsawan Rusia.
Kelak, bersama Kolonel Henry Steel Olcott (dikenal sebagai Madame Balavatsky), ia mendirikan Theosophical Society di New York pada 17 November 1875, namun baru diresmikan pada 3 April 1905.
Menurut Iskandar P. Nugraha dalam Teosofi, Nasionalisme & Elite Modern Indonesia (2011), organisasi tersebut telah berhasil merumuskan tiga hal penting terkait tujuan pendiriannya dan menjadi landasan bagi gerakan Teosofi di masa-masa selanjutnya.
Pertama; membentuk suatu inti dari persaudaraan universal kemanusiaan, tanpa membeda-bedakan ras (bangsa), kepercayaan, jenis kelamin, kasta ataupun warna kulit.
Kedua; mengajak mempelajari perbandingan agama-agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
Ketiga; menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapat diterangkan dan menyelidiki tenaga-tenaga yang masih tersembunyi dalam manusia.
Perjalanan Madame Balavatsky Membentuk Kelompok Teosofi
Madame Helena Petrovna Blavatsky lahir di Yekaterinoslav—kini kota tersebut bernama Dnipropetrovsk dan termasuk wilayah Ukraina—pada 12 Agustus 1831. Ketika usianya baru 17, ia menikah dengan Jenderal Nikifor Blavatsky, wakil Gubernur Erivan di Armenia yang usianya kala itu sudah 39. Dan sejak itu, Helena pun dikenal dengan nama Madame Blavatsky.
Namun pernikahan mereka hanya bertahan beberapa bulan. Setelah itu Madame Blavatsky diusir dari tanah leluhurnya dan memutuskan melakukan perjalanan ke berbagai penjuru dunia (mulai dari Eropa, Amerika Serikat, Meksiko, Amerika Selatan, Hindia Barat, hingga ke India), dengan tetap memakai nama belakang suaminya.
Dalam perjalanannya tersebut Madame Blavatsky bertemu dengan kelompok Persatuan Putih Agung (The Great White Brotherhood) pada 1867 di Himalaya. Kelompok yang sejak 1879 dikenal sebagai Loji Mahatmas atau Transhimalaya ini mengajarkan kepada Madame Blavatsky ilmu-ilmu kuno dan menyuruhnya menyebarkan ilmu itu ke dunia modern.
Dalam berbagai kesempatan, Madame Blavatsky selalu mengatakan bahwa ajaran Teosofi—nama yang kemudian ia pakai untuk ajaran ini—yang disampaikannya tak lain merupakan pesan yang diterimanya dari dua tokoh dalam kelompok persaudaraan tersebut, yaitu yang disebut sebagai Master KH (Koot Hoomi Lal Singh) dan M (Morya).
Madame Blavatsky juga pernah mengunjungi Indonesia, antara tahun 1852 hingga 1862. Di sinilah ia menyebarkan Teosofisme pada penduduk Jawa.
Teosofi dan Pergerakan Nasional
Sejak tahun 1912, sekretaris jenderal perkumpulan Teosofi di Hindia Belanda dijabat oleh Dirk van Hinloopen Labberton. Dialah yang kemudian banyak berinteraksi dengan sejumlah tokoh pergerakan nasional dan membawa Teosofi sebagai salah satu napas dari semangat pergerakan nasional.
Labberton lahir di Doesburg, Belanda, pada 24 September 1874. Ia datang ke Hindia Belanda pada 1894 setelah lulus dari secondary school, dan setahun kemudian bekerja di pabrik gula “Gajam” di Jawa Timur sebagai analis kimia. Tahun 1896 ia menjabat sebagai kepala pabrik gula Sempal-Wadak, juga di Jawa Timur. Ia juga sempat bekerja sebagai Sekretaris Umum di sebuah kantor departemen di Buitenzorg.
Labberton berminat terhadap bahasa dan etnologi lokal seperti Jawa dan Melayu, serta bahasa serapan Sakerta. Akhir tahun 1904 ia mengajar bahasa Jawa dan Melayu di Gymnasium William III di Weltevreden, Batavia, hingga tahun 1914.
Salah satu minat Labberton dan istrinya adalah wayang kulit. Suatu saat ia dan istrinya sempat berdebat dengan Tjipto Mangoenkoesoemo soal modifikasi pertunjukkan wayang kulit sebagai media pergerakan.
Labberton berpendapat bahwa wayang menggenggam rahasia besar kemanusiaan, tapi justru disia-siakan oleh orang Eropa. Wayang pada perkembangannya ternyata terbukti efektif menjadi alat penyebaran Teosofi yang cukup penting.
Tokoh wayang kerap digunakan oleh gerakan Teosofi dalam menyampaikan pesan-pesannya. Dalam konteks ini, tokoh wayang tersebut adalah Kresna dan Arjuna masing-masing terkenal sebagai tokoh sakti dan cerdik.
Sebagai contoh dalam Kongres Teosofi pertama di Indonesia pada 18-19 April 1908, mereka menggelar wayang kulit semalam suntuk dengan lakon “Kresna Gugat” yang dibawakan oleh dalang R. Martahardjana.
Seorang tokoh Teosofi, Radjiman Wedyodiningrat, dalam setiap ceramahnya juga kerap berbicara tentang wayang untuk menyampaikan ajaran-ajaran Teosofi.
Kedua tokoh wayang ini pula yang dijadikan lambang Indische Partij, partai politik pertama di Hindia Belanda yang yang menyerukan “Hindia untuk orang Hindia”.
Pergaulan Labberton yang luas juga membawanya kepada para aktivis Java Studie Fond, salah satunya Soetomo. Ia menjadi mentor bagi para anggota organisasi tersebut yang kelak menjadi Boedi Oetomo. Pemikiran mereka sejalan dengan Teosofi yaitu mengusung isu lokal dan membawa pendidikan serta budaya barat untuk memajukan budaya lokal. Karena pengetahuannya yang luas dan dalam tentang kebudayaan Jawa dan mistik Jawa, Labberton dijuluki “Kiai Santri”.
Dalam dokumentasi resmi gerakan Teosofi, sejumlah tokoh pergerakan nasional tercatat sebagai anggota gerakan tersebut, di antaranya Agus Salim, Tjipto Mangoenkeosoemo, Goenawan Mangoenkeosoemo, dan Muhammad Yamin.
Nama Agus Salim bahkan terdapat dalam halaman pertama Kitab Theosofi (1915) sebagai penerjemah buku tersebut dari judul aslinya A Textbook of Theosophy (1912) karya C.W. Lead Beater.
“Syahdan yang mengerjakan kebanyakan terjemahan kitab ini, yaitu Haji A. Salim, maka atas usahanya itu kami pun mengucapkan terima kasih,” ujar A.F. Folkersma, penerbit yang mewakili Himpunan Teosofi.
Dalam buku Seratus Haji Agus Salim (1996) pahlawan nasional itu mengatakan, “Bersamaan dengan masa perjumpaan saya dengan Sarekat Islam, saya pun mulai ada hubungan dengan kalangan Teosofi.”
Saat gerakan Teosofi berpusat di Blavatsky Park, sebelah barat Koenigsplein (sekarang Jalan Merdeka Barat, Jakarta), banyak aktivis yang aktif di sana, seperti Muhammad Jamin, M. Tabrani, Roestam Effendi, dan Sanoesi Pane.
Moh. Hatta juga penah berkunjung ke Blavatsky Park tetapi tidak menjadi anggota, meskipun di kemudian hari Hatta mendapat beasiswa dari para teosof untuk belajar di Belanda.
“Para teosof ini menjadi pelindung banyak pelajar pribumi, memberikan tempat berteduh, makanan dan pakaian, dan terutama buah pikiran,” tulis Hans van Miert dalam Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930.
Sumber: Dilansir dari Berbagai Sumber
Editor : Mediaekspres.id
Quotes of the day “Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan. Jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, lalu bepikir telah memiliki seluruh kebenaran.”
Maulana Jalaluddin Rumi




Comment