MEDIAEKSPRES.id – Telanjang dada bagi perempuan di Indonesia pada masa lalu merupakan hal yang lumrah. Tidak ada tudingan porno ataupun pamer keseksian. Ini karena tradisi ketika itu belum mengenal penutup dada seperti zaman sekarang.
Di masa lalu Perempuan-perempuan tak berpenutup dada tak hanya di Papua saja, tapi banyak daerah di Indonesia. Di Jawa, kaum perempuan biasanya hanya menutup dadanya dengan kemben yakni sebuah kain yang dililit di bagian dada.
Baru setelah periode 1900-an, perempuan di Jawa mulai mengenakan kebaya. Di Sulawesi Selatan, para perempuan biasa memakai baju bodo yang mirip kebaya, tetapi tipis dan longgar. Saking tipisnya, baju bodo pada masa itu terlihat transparan sehingga memperlihatkan payudara pemakainya.
Namun, terlihatnya payudara pada masa itu bukan dalam perspektif cabul, seperti sekarang ini. Di zaman Hindia Belanda, perempuan yang berjalan di muka umum tanpa mengenakan penutup dada adalah hal yang biasa. Di masa tersebut, hal itu tak menumbuhkan birahi kaum laki-laki Indonesia karena dianggap hal yang biasa.
Masalah birahi justru muncul di kalangan laki-laki Belanda yang melihatnya. Pernah ada cerita acara bongkar muat kapal Belanda yang tertunda satu jam, karena pelaut-pelaut Belanda terpesona pada pemandangan di atas perut perempuan itu.
Masa sekarang, penutup dada bagi kaum hawa itu dikenal dengan beberapa sebutan, diantaranya BH, Bra dan Kutang. Lantas dari mana nama-nama itu muncul? Berikut ulasannya.
“BH” (dibaca béha) adalah penutup payudara, BH itu sendiri adalah singkatan dari Breast Holder (Inggris) atau Buste Hounder (Belanda).
Sementara saat ini orang lebih suka menyebutnya dengan sebutan “Bra” yang diambil dari Brassiere (Perancis).
Pada masa kerajaan Jawa, penutup dada disebut “kemben”, yang berupa selendang kecil.
Secara tradisional orang Indonesia banyak yang menyebutnya “Kutang”.
Pada masa penjajahan dulu saat pengerjaan proyek pembuatan jalan Anyer – Panarukan, banyak pekerja rodi pribumi baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja hanya mengenakan semacam cawat/kain dan bertelanjang dada.
Mandor yang bertugas di tempat saat itu, Don Lopez Comte de Paris yang merupakan asisten Herman Willem Daendels yang berkebangsaan Perancis, merasa risih melihat keadaan ini.
Akhirnya, ia memotong-motong suatu kain putih dan memberikannya kepada salah satu pekerja rodi perempuan. Sambil memberikan kain tersebut kurang lebih dia berkata “Fermez cette partie! coûtant !“
(“tutup bagian itu!, berharga!”)
Kata “coûtant” mungkin dalam telinga orang Indonesia terdengar “kutang”, dan sejak saat itu, lahir kosakata baru dalam bahasa rakyat, yaitu “kutang” yang bermakna kain pembungkus payudara.
Sumber: Dilansir dari berbagai sumber
Editor : Mediaekspres.id
Quotes of the day “Ini keyakinan mendalam bahwa kita semua harus merasa layak dan berani untuk mengekspresikan hak kita seutuhnya, tidak dibatasi oleh apa pun, tanpa memandang suku, etnis, identitas gender, seksualitas, kemampuan, agama, atau identitas lain yang kita pilih.”
Yana Sahidi
Comment