Kisah Fidel Castro: Sahabat Karib Soekarno dan Insiden ‘Baju Hansip’ dengan Gus Dur  

MEDIAEKSPRES.id – Fidel Castro adalah sebuah nama yang tidak bisa di lepaskan dari sejarah Kuba. Ia menjadi figur spektakuler yang telah memimpin Kuba selama lebih 40 tahun. Sebagai pemimpin, ia dikenal sangat kharismatik dan memiliki banyak daya tarik.

Dengan tampilan fisik yang sangat sederhana dan jauh dari kata glamor, Fidel mempunyai keahlian sebagai orator ulung seperti halnya Soekarno. Fidel menganggap Soekarno sebagai sosok sehabat karib sekaligus guru.

Di kalangan masyarakat kuba dan masyarakat dunia secara umum, Fidel adalah nama yang sangat popular. Ia telah menjadi salah satu tokoh penting yang memimpin revolusi rakyat Kuba. Bersama adiknya, Raul Castro, dan Che Guevara, Fidel berhasil memimpin revolusi untuk menumbangkan rezim otoriter dan korup pada masa itu.

Fidel yang terkenal dengan julukan Barbudos – atau si janggut, telah memimpin rakyat Kuba untuk melakukan pemberontakan secara besar-besaran kepada rezim Batista.

Konon, Fidel merampok para tuan tanah yang kaya dan korup, lalu membagikan tanah tersebut kepada petani miskin. Oleh karena itu, figure Fidel sangat melegenda. Bahkan tak jarang dipandang seperti Robin Hood dari Sierra Maestro

Sejarah mencatat, Fidel dan Soekarno adalah sahabat karib. Keduanya bertemu saat Soekarno berkunjung ke Kuba tahun 1960. Saat itu, Fidel dan Che Guevara menyambut kedatangan presiden Indonesia itu secara meriah.
“Anda tahu,tuan, inilah yang menyatukan Indonesia,” kata Soekarno sambil menunjukan Peci-nya

“Yang mulia Presiden Soekarno, inilah yang membuat Batista merangkak- rangkak  keluar istana dan digebuki pantat-nya oleh Amerika ,”  sambung Fidel sambil menunjukan topi pet-nya yang bergambar bintang.

Lalu, mata Fidel Castro menunjuk pada tongkat yang dibawa Soekarno. “ Oh, kalau ini untuk apa tuan presiden ?”

Soekarno dengan gaya kocak mengelus-elus tongkatnya dan memberikan kepada Fidel Castro , “ kalau Anda pegang ini , akan keluar jin.”

Fidel dan semua yang ada diistana kepresidenan lantas tertawa terbahak-bahak. Fidel mengelus-elus tongkat komando Soekarno, tetapi tentu saja tidak keluar jin .  Akhirnya, mereka bertukar aksesoris. Fidel memakai peci dan tongkat komando Soekarno, sementara Soekarno memakai topi pet milik Fidel. Itulah kisah tentang keakraban yang terjalin antara dua orang yang memiliki kemiripan idiologis.

Bagi Fidel, Soekarno adalah guru yang mengajarkan bahwa sebuah Negara harus di bangun secara mandiri dan setelah merdeka tidak boleh di setir oleh bangsa asing. Inilah pelajaran penting yang di ambil Fidel Castro dari Soekarno.

Fidel Castro dan Soekarno (foto: Ist)

Fidel Castro Lahir pada 13 Agustus 1926 di Biran,provinsi Holguin, Kuba. Nama lengkapnya adalah Fidel Alejandro Castro Ruz. Ayahnya, Angel Castro Argiz, merupakan pendatang yang pertama kali tiba di Kuba bersama tentara Spanyol, saat berlangsungnya perang Spanyol – Amerika pada 1898.

Angel datang dari suatu tempat bernama Galicia di Spanyol. Di Kuba, ia menemukan banyak peluang untuk menjalani kehidupan baru.  Angel Castro Argis dikenal sebagai pebisnis sukses. Sejak menolak di pulangkan ke spanyol setelah perang usai tahun 1905, ia memantapkan diri untuk merintis bisnis di Kuba. Secara perlahan, dengan kerja keras dan ketekunan,Angel berhasil membangun kerajaan bisnisnya sendiri .

Ia berhasil menikmati keuntungan dari bisnis perkebunan tebu dan pabrik gula. Tidak seperti ayahnya yang kaya ,ibu Castro hanya perempuan miskin dari Galicia. Perempuan bernama Lina Ruz Gonzales ini awalnya pembantu rumah tangga di kediaman Angel. Namun Angel menaruh hati kepadanya, walaupun saat itu ia masih mempunyai istri sah. Angel dan Lina akhirnya mempunya enam anak, yakni Fidel, Raul,Angela, Ramon, Emma dan Juanita. Sejak saat Fidel Castro lahir, ayahnya sudah menjadi salah satu orang terkaya di provinsinya.

Angel bercerai dengan istrinya yang sah ketika Fidel berumur 15 Tahun. Kemudian Angel menikahi Lina. Namun, Fidel di akui sebagai anak kandung saat ia berusia 17 tahun.  Setelah pengakuan tersebut ,secara hukum nama keluarga Fidel harus di ubah dari Rus menjadi Castro. Fidel memakai keduanya, dan menambahkanya dengan nama pilihanya sendiri, yakni Alejandro atau Alexander . Nama tambahan itu di peroleh setelah Fidel membaca kisah tentang prajurit Makedonia yang legendaris di perpustakaan sekolahnya. Pilihan nama yang pada akhirnya mencermingkan kegemaran Fidel dalam petualangan dan pertempuran sebagaimana kesatria sejati.

Sebagai tuan tanah di Provinsi Orinte, kekayaan Angel sangat cukup untuk memanjakan dan memberikan kenyamanan bagi keluarganya. Namun,semua kekayaan itu tidak di imbangi dengan kebahagiaan dalam membangun rumah tangga. Terbukti , setelah perceraian dengan istri pertama , keluarga Angel terkesan tidak harmonis.

Angel dikenal sebagai pengusaha sibuk. Ia tidak mempunyai waktu untuk membangun kedekatan emosi dengan anak-anaknya,terutama dengan Fidel. Hubungan ayah dan anak ini tidak pernah dekat. Tak pelak, Fidel tumbuh terasing dalam lingkungan keluarganya sendiri. Ia tidak dekat dengan ayah, ibu, ataupun saudara – saudara tirinya. Kedekatan Fidel hanya terjadi dengan dua adik kandungnya, Raul dan Juanita, bagi Fidel, dua adiknya ini adalah energy yang terus \ menyemangatinya untuk tetap berjuang. Kelak, kedua adiknya itu menempuh jalan yang berseberangan, dan salah satunya  mengecewakan Fidel Castro.

Fidel mengawali pendidikan dasar dengan masuk ke sekolah Katolik yang lengap dengan asramanya. Saat itu,usianya masih 6 tahun. Keputusan untuk sekolah mucul dari dirinya sendiri. Meski orang tuanya berasal dari keluarga kaya, mereka tidaklah berpendidikan. Kehidupan bagi keluarga Angel Castro hanya di habiskan untuk bekerja keras. Maka, Fidel mendesak kedua orang tuanya untuk segera memasukanya di sekolah .

Di kota Santiago de Cuba, Fidel belajar di Cologio La Salle dan Cologio Dolores. Keduanya adalah yayasan pendidkan di bawah Yesuit. Sekolah ini mempunyai kedisiplinan yang sangat ketat. Tanpa di sadari, hal ini justru membatasi lingkup pergaulan social Fidel. Ia tidak bisa mengekspresiakan diri sepenuhnya di masa- masa ini. Nilai-nilainya pun relatif beragam. Ia tidak menunjukan minat khusus terhadap pelajaran tertentu . Namun, banyak yang mengakui bahwa Fidel adalah murid berbakat secara intelektual

Fidel pintar, energik , dan sangat menikmati olahraga, terutama yang bercorak permainan. Jelas, ia lebih menyukai lapangan basket dari pada pelajaran sekolah. Kesukaannya Olahraga inilah yang semakin membentuknya menjadi pribadi yang selalu menuntut kemenangan. Buku laporan tahunan sekolahnya menulis, ” Ia tahu betul cara mendapatkan pujian dan sambutan hangat dari semua temannya “ .

Kisah Lucu dengan Gus Dur

Gus Dur pernah bertemu dengan Fidel Castro di Havana, Kuba, tahun 2000 silam. Pertemuan dua pemimpin negara tersebut kala itu memang tak biasa karena didahului drama salah paham.

Gus Dur sangat dikenal dengan gaya humornya. Jarang orang yang tak terhibur jika sempat berceloteh dengan Gusdur.

Sejak kanak-kanak, lalu menjadi ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, kemudian menjabat presiden Indonesia, sampai akhirnya lengser, hidup Gus Dur selalu diwarnai kisah jenaka. Dan tak main-main, kisah-kisah itu kerap melibatkan orang-orang ternama. Dari Bill Clinton, Raja Arab, sampai tokoh revolusi sekaligus Presiden Kuba Fidel Castro.

Gus Dur dan Fidel Castro (foto: Ist)

Tentang perokok yang jadi legenda Kuba ini, ada satu kisahnya bersama Gus Dur yang lucunya fenomenal. Peristiwa absurd tapi nyata ini terjadi saat Gus Dur berkunjung ke Kuba pada tahun 2000. Sayang sekali, saat itu Presiden Fidel Castro tidak bisa menyambut kedatangannya karena sedang sibuk mempersiapkan diri memimpin Konferensi Gerakan Nonblok.

Tidak hanya Indonesia yang hadir di Kuba saat itu. Sejumlah negara lain turut hadir. Konon, semua pemimpin negara yang ada di Havana saat itu ingin bisa berbincang empat mata dengan Castro. Dan konon lagi, penting tidaknya posisi negara tamu diukur dari seberapa berkenan Presiden Castro menyempatkan waktunya menemui langsung si pemimpin negara. Masalahnya, karena sibuk sekali, Castro sama sekali tidak menerima kunjungan empat mata dari pemimpin negara mana pun.

Sadar dengan kesibukan Fidel Castro, apalagi tidak ada jadwal waktu yang pasti dari Presiden Kuba ini untuk bisa ditemui, Gus Dur akhirnya memilih menunggu saja di salah sebuah hotel di Kota Havana.

Alkisah, di Jumat malam 14 April 2000, karena bosan mendengarkan rekaman wayang kulit, Gus Dur ingin rileks bersama ajudan dan beberapa petugas paspampres dengan berjalan-jalan di luar hotel. Sebelum malam semakin larut, Gus Dur bermaksud menyaksikan live music di kota. Kebetulan ada pemusik yang akan membawakan lagu yang ingin didengar Gus Dur, lagu berjudul “Guantanamera”.

Namun, ketika Gus Dur turun ke lobi hotel, tiba-tiba komandan Paspampres Gus Dur dihubungi oleh pengawal yang menjaga pintu kamar kiai asal Jombang ini.

“Komandan mohon izin,” kata pengawal kamar Gus Dur.

“Iya?” jawab Komandan Paspampres.

“Ini ada rombongan orang yang tidak jelas dan tidak dikenal tiba-tiba masuk ngotot mau masuk kamarnya Presiden Gus Dur,” kata pengawal kamar.

Di depan kamar ini ada sedikit ribut-ribut, antara pengawal Gus Dur dan salah satu orang yang ingin masuk kamar Gus Dur.

“Lho, siapa itu?” tanya Komandan Paspampres di lobi hotel.

Tentu saja Komandan Paspampres agak reaktif, maklum keamanan Presiden adalah prioritas nomor satu. Malam-malam hampir larut begini tiba-tiba kamar presiden di hotel didatangi serombongan orang tak dikenal. Komandan Paspampres jadi waspada mendengar informasi tersebut.

“Nggak tahu, Komandan,” kata pengawal kamar. Jelas semakin menegangkan dong. Siapa rombongan ini? Mau ngapain mereka sama Gus Dur?

“Orangnya brewokan dan pakai pakaian hansip.”

Tiba-tiba wajah cemas Komandan Paspamres langsung berubah.

“Wah, itu Castro! Itu Fidel Castro!” teriak semua orang yang mendengar percakapan itu di lobi hotel.

Langsung saja rombongan yang sejatinya mau nonton live music ini bubar jalan dan segera naik ke kamar hotel lagi. Benar saja, di sana sudah berdiri sosok Fidel Castro yang dengan sabar menanti kedatangan Gus Dur.

Untunglah Fidel Castro tidak bisa berbahasa Indonesia sehingga tidak bereaksi apa-apa ketika dibilang setelan pakaiannya kayak seragam hansip di Indonesia. Kalau Castro paham, didamprat saja sudah syukur. Tentu tidak lucu kalau niatnya ingin mendengarkan Guantanamera, ending-nya malah dikirim ke Guantanamo.

Disalur dari Berbagai Sumber

Editor: Mediaekspres.id

Comment