MEDIAEKSPRES.id – Saya tahu betul, tiap tanggal 21 April tidak pernah sekalipun absen untuk riuh memperingati hari di mana salah seorang perempuan Indonesia sukses menjemput revolusi, sebelum ia dijemput ilahi.
Saya tidak akan mampu memaparkan bagaimana ia dengan luar biasanya dicatat dalam sejarah peradaban Indonesia. Tentu itu keberuntungan atas kecerdasan yang dimiliki olehnya dan sedang perempuan lain ingin miliki juga
Tanyaku pada ibu tentang hari Kartini hanyalah angin yang dibuat berlalu dengan kegeraman atas argumentasi yang tidak mampu ia terima.
Barangkali itulah alasan mengapa saya begitu betah berorganisasi, sebab, segala pendapat yang saya katakan dalam organisasi tidak akan mampu diterima dengan baik oleh ibu bapak, namun diterima dengan pintu terbuka lewat forum kajian organda-organda.
Bapak ibu tidak akan menerima ketika saya mengatakan, “saya sulit mendapatkan Hari Kartini di zaman sekarang”.
Hari di mana perempuan meniru kebaya Kartini tiap tanggal 21 April, lalu mengambil gambar dan memposting di akun media sosial masing-masing. Saya tidak ada masalah dengan hal tersebut sebab itu adalah bentuk antusias .
Hanya saja, dari hati dan pikiran saya, hal itu membuat saya kesulitan menemukan kesakralan Hari Kartini
Bapak ibu tidak akan terima saat saya mengatakan bahwa saya begitu sial, ketika usia saya memijakkan kaki di bangku perkulihan — dengan tuntutan mempertajam pisau analisis yang terus saja menggerogoti kepala saya — Hari Kartini justru menjadi luka untuk saya pribadi.
Luka untuk seisi kepala dan hati, kala saya justru tidak menemukan Kartini di tangan generasi yang sekarang ini — generasi yang ada saya di dalamnya.
Lalu bagaimana ibu bapak bisa memahami, jika saya bercerita layaknya Kartini yang memberanikan diri mengeluarkan pendapatnya untuk menjemput revolusi.
Aku menengok langit yang sudah mulai menggelap dan hari yang sebentar lagi ternyata akan usai. Artinya Hari Kartini akan berakhir dan besok semua akan seperti biasanya, tidak ada kebaya — tidak ada postingan — tidak ada ucapan membakar amarah atas ketimpangan dan bias gender yang dipaparkan sesiapa.
Saya kembali menyeruput kopi yang sudah mulai dingin, mengingat bahwa Hari Kartini juga akan usai, tapi Kartiniku di pagi hari akan muncul lagi.
Bapak ibu, ku sampaikan padamu bahwa anakmu ini ingin kesakralan Hari Kartini, dengan menghidupkan Kartini pada jiwa saya atau pada jiwa sesiapa yang saya lihat.
Tapi bapak ibu hanya ingin memandang Kartini sebagai individu yang telah mati, tapi meninggalkan pucu-pucuk surat.
Perihal mengirim surat seperti ini ke bapak ibu adalah perihal perasaan yang siap-siap untuk terluka. Perihal pemikiran dan pandangan kepada saya yang siap-siap untuk berubah.
Baik, sudah biarkan saja, ibu bapak jumpai surat ini bila berjodoh dengan surat ini.
Kepada Kartiniku yang masih terus hidup di jiwa sesiapa yang menggerakkan seribu langkah menjemput revolusi, panjang umurlah walau dengan nada tapian beras dini hari yang masih rutin terdengarkan.
Penulis: Firdha Mutmainnah




Comment