Ragam Tanggapan dari Produksi Film Pendek Siwali Parriq

Oleh: (Busran Riandhy/ Sutarmin : KPID Sulbar)

Polongaan, adalah sebuah perkampungan asri, indah dan sejuk. terletak sekitar 15 kilometer arah timur dari tugu Benteng Kayu Mangiwang,yang terletak di Kota Terpadu Mandiri (KTM) Tobadak, Kecamatan Tobadak, Kabupaten Mamuju Tengah, Provinsi Sulawesi Barat.

Polongaan, menurut Hamzah, Kepala Desa Polonggaan, Dalam “Buku Potret Pembinaan Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Barat,” 2020, menyebutkan Polongaan, berasal dari bahasa Topoyo, (sub, suku Mandar Mamuju) yang mendiami sebagian wilayah Mamuju Tengah.

Polongaan terdiri dari dua suku kata, Polo berarti tempat, dan Ngaan berarti Hadang.
Konon, pada zaman penjajahan Belanda, Daerah ini menjadi kawasan favorit pada pejuang dari “Bumi Lalla Tassisara” menghadang para musuh yang ingin menyerang para pejuang di Benteng Kayu Manggiwang.

Daerah ini, dulu masuk wilayah kecamatan Budong-Budong, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Selatan merupakan daerah penghasil Kakao dan Rotan, hasil bumi berkualitas eksport.

Pada Tahun 1989, Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Transmigrasi menetapkan Kecamatan Budong-Budong menjadi salah satu yang wilayah potensial penempatan warga transmigrasi. Dan Tahun 1990, awal mulainya kedatangan warga transmigrasi daeri berbagai daerah ditanah air.

Polongaan, yang dikenal dengan UPT Tobadak III, memiliki luas wilayah kurang lebih 3.207,47 Hektar. Warga Masyarakat Polongaan, sebahagian besar berasal dari Bali, Tanah Toraja, Mamasa, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur. Untuk mendatangkan warga transmigrasi tersebut dilakukan beberapa gelombang, pendaratan pertama mengunakan kapal laut dari Jawa dan berlabuh di Pelabuhan Pangajoang Budong-Budong, dan selanjutkan “berjalan kaki” selama dua hari menuju Tobadak III.

Kini daerah yang dulu hutan belantara itu, menjelma menjadi kawasan yang menopang perekonomian Mamuju Tengah khusus, dan Sulawesi Barat secara umum, dari tangan-tangan ulet, kuat dan rajin dari warganya. Keberhasilan ini juga tak terlepas dari sentuhan tangan dingin Bapak H. Aras Tammauni, (Uwe Aras) yang begitu peduli terhadap kehidupan masyarakatnya.

Kepedulian itu semakin meningkat baik pada saat menjabat sebagai kepala desa Tobadak, terlebih lagi saat ini menjabat Bupati Mamuju Tengah.
Berkebun kelapa sawit, adalah aktifitas utama para warga dalam meningkatkan tarap hidupnya. Aktifitas rutin ke kebun sawit, “para petani “ akan terlihat dipagi hari yang sibut menuju kebun masing-masing.

Pemandangan itu juga terlihat, ketika tim pembuat film dari Kemenag Sulbar dan KPID Sulbar melakukan shoting film pendek “Siwali Parriq” di tugu Desa Sadar Kerukunan, Minggu, 13 Juni 2021 lalu.

Tatanan kehidupan masyarakat yang saling bekerja sama tanpa melihat perbedaan agama, ras dan golongan tidaklah menjadi pemisah. Penataan rumah warga cukup rapi, pemeluk agama saling bertetangga. Penempatan rumah ibadah masing-masing agama, terletak dalam satu kawasan yang luasnya kurang lebih 5 hektar dengan jarak masing-masing sekitar 40-50 meter yang dibatasi jalan lorong atau lokasi rumah ibadah, seperti Pura Sapta Kerti dan Gereja Toraja Mamasa yang dibatasi hanya jejeran pohon Jati dan pohon kelapa.

Disebelah Barat, terdapat Gereja Toraja Mamasa. Di bagian Selatan, Pura Sapta Kerti, Di sebelah Timur, Masjid Istiqomah dan pada bagian Utara terdapat Gereja Katolik Paroki ST. Mikael Tobadak III.

Untuk faslitas umum yakni lapangan sepak bola, Lapangan bola volley, Kantor Desa Polongaan dan Sekolah Dasar Polongaan berada ditengah-tengah kawasan rumah ibadah tersebut.

Dari kondisi itu, pada tahun 2015, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Barat menetapkan sebagai “Desa Sadar Kerukunan”, Desa Polongaan menjadi salah satu dari dua desa binaan Kanwil Kemenag Sulbar selama ini.

Tak berlebihan bila, Polongaan dilabeli dengan sebutan miniature Indonesia, sebab disana begitu banyak suku yang mendiaminya, penduduknya begitu majemuk dan heterogen, hal ini dikuatkan beragamnya budaya dan agama berbaur menjadi satu dalam wadah kerukunan umat beragama.

Didampingi Sekertaris Desa, Tuti Rahayu. Penjabat Kepala Desa Polongaan H. Muh. Saiful mengatakan, “sejak desa ini berdiri, pondasi kerukunan antar umat beragama sudah tertata dengan baik, toleransi dan kerukunan umat beragama serta ragamnya budaya semakin terbangun seiring dengan waktu, dan hari ini kita saksikan bersama betapa damainya desa kami, “ jelasnya. H.Saiful

Tokoh pendidikan dan tokoh agama Islam Tobadak ini, menuturkan Praktek Siwali Parriq (Tolong Menolong), dalam konsep Malaqbiq ditanah mandar Sulawesi Barat adalah senasib sepenanggungan, Pola hidup itu sudah tertanam antar warga, dan melekat kuat tanpa memandang status sosial dan agama, sifat kegotong royongan dan kepedulian ingin saling membantu terhadap sesama sangat terasa.
“Keberagaman itu, juga tercipta di pemerintahan desa. Semua perangkat desa mulai dari staf hingga ketua Rukun Tetangga, ada keterwakilan agama didalamnya”. tutur Saiful.

Di sela-sela pengambilan gambar Film Pendek Siwaparriq, penulis menyempatkan berbincang dengan para pemeran utama film diantaranya I Wayan Kantun (Tokoh agama Hindu), Taran Afrianto (Pemuda Kristen dari Gereja Toraja Mamasa), Ardianus Meki (Pemuda Katolik dari Gereja Paroki ST. Mikael), Abdul Salam (Remaja Masjid Istiqomah), dan Tuti Rahayu ( Sekertaris Desa Polongaan).

Kelima generasi muda Polonggaan itu mengungkapkan secercah penilaian dan harapan.
I Wayan Kantun, salah seorang tokoh Agama Hindu memulai ceritanya sambil berdiri dengan latar belakang tempat ibadah gereja katolik, Kantun menyebut, masyarakat Polongaan dalam bergaul tidak melihat dari agama dan suku.

Semua warga adalah saudara yang harus saling bergotong-royong, tolong-menolong dan saling membantu satu sama lainnya. “Jika saudara kita umat islam kerja bhakti di masjid, kami semua akan ikut membantu membersihkan, begitupun kalau kami juga kebetulan ada pekerjaan di pura, saudara kami dari islam, kristen dan katolik ramai-ramai datang membantu sehingga apa yang dikerjakan dengan mudah dan cepat bisa diselesaikan.” Jelas I Wayan Kantun dengan dialoq Bahasa Bali yang kental.

Lanjut I Wayan Kantun, karena semua ringan tangan ikut membantu, begitupun sebaliknya jika saudara kita dari Kristen atau dari Katolik ada yang mau dikerjakan dan membutuhkan tenaga kami semua membantu agar cepat selesai, apalagi 4 (empat) rumah ibadah (Hindu, Kristen, Islam dan Katolik) jaraknya sangat dekat satu dengan yang lainnya, boleh dibilang hanya pagar halaman masing-masing yang menjadi pemisah.

Taran Afrianto, Tokoh Pemuda Kristen, menyebut kekerabatan yang terjalin sangat erat diantara pemuda lintas agama di Polongaan yang membedakan pemuda didaerah lainnya, setiap ada kegiatan di desa maka pemuda lintas agama selalu datang membantu, disini tak pernah ada gesekan antar suku apalagi agama karena rasa kekeluargaan yang tinggi. “Toleransi beragama dan saling pengertian sangat kami junjung tinggi”, kata Taran.

Penilaian serupa juga di sampaikan Ardianus Meki (Pemuda Katolik). Dia dan para pemuda katolik lainnya merasa nyaman dan damai tinggal di desa Polongaan, dirinya menganggap bahwa yang terpenting itu adalah rasa persaudaan, bila satu sama lainnya sudah saling menganggap seperti saudara sendiri maka dipastikan tak ada lagi ruang atau sekat-sekat yang bisa merusak tatanan yang memang harus kita pelihara bersama.
“Saya setiap hari bergaul dengan sahabat dari Kristen, Katolik maupun Islam, kami begitu harmony ditengah keberagaman, kami saling menghormati dan menghargai dalam menjalankan hak-hak beribadah masing-masing”, tutur Ardi, panggilan akrabnya.

Kisah yang samapun diperdengarkan Abdul Salam pemeluk agama Islam, menurutnya masyarakat desa Polongaan sudah terbiasa hidup ditengah perbedaan, kami sangat akur disini, kami masyarakat Desa Polongaan adalah cerminan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda tapi tetap satu).

Sementara, Tuti Rahayu, Sekertaris Desa Polongaan, Wanita enerjik kelahiran Mulyasri, Luwu Timur tahun 1990 ini, yang mengaku sudah menetap di Polongaan sejak tahun 2010, dalam group Wathsapp “Siwaliparriq” Wanita ramah dan murah senyum itu menuturkan.

“Mewakili Pemerintah Desa mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Kanwil Kementerian Agama provinsi Sulbar yang kembali mengagendakan salah satu kegiatan terpentingnya untuk di Desa Polongaan dari sekian banyaknya desa, kami bangga desa kami menjadi salah satu yg di tujuan.

“Kepada teman-teman pemuda pemudi, dan bapak pemuka agama se-desa Polongaan atas dukungan dan kerjasama dengan tak kenal lelah meluangkan waktu dan tenaganya untuk ikut mensukseskan kegiatan ini shooting Film Pendek Siwali Parriq, Potret keseharian dengan semangat gotong royong dan saling membantu, ini adalah kolaborasi antar umat, sebagai bagian menjaga kerukunan umat beragama,” kicau Tuti Rahayu.

Penanggungjawab pembuatan Film Pendek, Muhammad Abidin, yang juga Kepala Sub Bagian Organisasi, Tatalaksana dan Kerukunan Umat Beragama Kanwil Kemenag Sulbar. Secara pribadi dan kelembagaan sangat bersyukur. Dan berterima kasih kepada kita semua yang terlibat secara partisipatif aktif dalam penggarapan film pendek moderasi beragama yang diakselerasi dengan kearifan lokal.

Saya sangat tidak menduga dengan hanya waktu 3 x 24 jam bisa dituntaskan Tanpa ada hambatan dan ini diluar dugaan, tentu ini menjadi kebanggaan khusus di subbag Ortala dan KUB. Ini bahagian dari innovasi yang tentu memiliki semangat tersendiri dalam mengembang amanah dan ini semakin memicu saya untuk lebih berkreasi dalam mendorong kegiatan moderasi beragama yang berbasis digital.

“Apa yang diproduksi ini, lahir dari kretifitas kita semua lebih mendorong saya untuk menajamkan kegiatan yang sejenis dan bisa menyasar berfileman moderasi beragama pada generasi mileneal dan atau kalangan peserta didik,” tuturnya.

Dari gambaran diatas, masyarakat desa Polongaan dari dulu nyata telah mengamalkan dan menerapkan lima dasar butir-butir Pancasila dengan penuh pengkhidmatan, di Implementasikan dengan saling menghormati dan memberi ruang kepada setiap umat beragama dalam menjalankan agamanya masing-masing. Penduduknya yang majemuk dengan budaya berbeda mampu berbaur tanpa ada yang merasa lebih diatas.

Dalam keseharian sifat tolong menolong, membantu sesama adalah wujud dari persatuan diantara mereka. Begitupun dalam setiap pengambilan keputusan, dimusyawarakan dalam forum desa maupun forum non formal lainnya, dimana masyarakat senantiasa menampilkan budaya satu suara. Dan pemimpin desa bersama tokoh agama memiliki kepedulian tinggi dalam menyalurkan bantuan secara adil tanpa ada riak di kemudian hari.
Polongaan, 13 Juni 2021.

Comment