MAMUJU, MEDIAEKSPRES.id – Sekitar pukul 20.00 Wita, Selasa 1 September 2020, sebanyak 9 Perawat Karantina Covid-19 bertemu dengan Direktur Rumah Sakit (RS) Regional Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) di Aula Hotel Pantai Indah Mamuju.
Di pertemuan itu, pernyataan “Rolling” tersampaikan kepada 9 Perawat Covid-19, dengan alasan menjaga imunitas tubuh perawat. Sementara 4 Perawat Covid-19 mengetahui keputusan tersebut setelah kembali berdinas di rumah sakit.
Pukul 14.00 Wita, Senin 6 September 2020, 13 Perawat Covid-19 diminta keluar dari tempat khusus penginapan Perawat Covid-19 “Hotel Pantai Indah Mamuju”. Dari tempat itu, 13 Perawat Covid-19 berinisiatif menuju kos-kosan yang sudah dipilih sendiri sebagai tempat sterilisasi atau isolasi mandiri sebelum pulang ke rumah masing-masing.
Selasa sore, 8 September 2020, 13 Perawat Covid-19 meninggalkan kos-kosan menuju rumah masing-masing, lantaran keuangan yang menipis akibat gaji belum diterima sejak tiga bulan terakhir. Sebagian dari mereka terpaksa meminjam uang dari kerabat untuk biaya pulang kampung.
Dari keterangan salah satu Perawat Covid-19, inisial HK, pihaknya belum menerima gaji selama 3 (tiga) bulan sebagai tenaga perawat di RS Regional Sulbar. Kemudian gaji ia terima dari bulan Mei-Juni Rp 6.750.000/bulan berbeda dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/Menkes/392/2020 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Dimana seharusnya Tenaga Perawat Covid-19 di gaji Rp 7.500.000/bulan.
Baca juga:
PPNI Sebut Direktur RS Sulbar Arogan karena Berhentikan Nakes
Sementera jika merujuk pada Kepermenkes Nomor KU.03.07/II/1171/2020 tentang Juknis Pemberian Insentif Tenaga Kesehatan dalam Penanganan Covid-19, seharusnya insentif yang diterima bisa lebih. Hal itu disampaiakan, Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Sulbar, Arman, Selasa (08/09/20).
Arman menilai pernyataan Direktur RS Regional Sulbar soal pemotongan insentif Perawat Covid-19 mengada-ada dan dianggap membuat aturan sendiri.
“Kalau merujuk Kepermenkes, Juknis pembayaran insentif itu bahkan bisa lebih dari 7,5 juta jika dihitung perhari kerja, ini malah dipotong 10 % dengan alasan beban kerja, sementara di Pergub yang rujukannya juga adalah Permenkes tidak ada bunyi beban kerja, tapi resiko,” kata Arman.
Lanjut Arman menjelaskan, pada Pergub Bab VI tentang Zonasi — Pasal 6, poin pertama terkait kategori atau zonasi rumah sakit ditetapkan berdasarkan tingkat resiko penularan penyakit dan pelayanan yang menjadi dasar perhitungan insentif.
“Pasal 7 poin C, area resiko tinggi antaranya IGD, Ruang Perawatan Karantina, Laboratorium, Instalasi Londri, Kamar Jenasah, Radiologi,Polik Klinis Infeksius, Karantina dan Isolasi. Kalau beliau mengatakan ada aturan pemotonga kami minta rujukan pemotongannya dimana?” terangnya.
Olehnya itu, ia menyayangkan keputusan Direktur RS Sulbar yang seakan-akan tidak menghargai para Perawat Covid-19. Padahal kata Arman, demi kemanusia dan disaat semua orang takut untuk masuk sebagai perawat covid mereka siap dipekerjakan.
“Ini sangat memprihatinkan, mereka tiba-tiba diganti tanpa alasan yang jelas dan melibatkan profesi padahal perekrutan awal prosesnya jelas. Ini menandakan Rumah Sakit Regional dipimpin oleh orang yang tidak profesional dan suka membuat aturan sendiri,” tegasnya.
Arman berharap kepada Gubernur Sulbar untuk mengevaluasi kebijakan sepihak Direktur Rumah Sakit Regional Sulbar dan mengganti yang lebih profesional.
“Kami juga meminta secara khusus kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat agar memberikan penghargaan kepada mereka, atas dedikasi dan keberanian mereka yang rela mengambil resiko demi kemanuasiaan, minimal diangkat sebagai Tenaga P3K di Rumah Sakit Regional,” harapnya.
Sebelumnya, Kepala Seksi SDM Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulbar, Muhammad Jafar mengatakan, keputusan Direktur RS Regional Sulbar tanpa koordinasi. Padahal semestinya kata Muhammad Jafar, seharusnya terlebih dahulu dikomunikasikan dengan pihak Dinkes Sulbar yang telah melakukan perekrutan.
“Saya tentu sangat kaget atas kejadian tersebut, dikarenakan tidak adanya koordinasi ke Dinas Kesehatan dengan adanya pemberhentian yang dilakukan oleh Direktur RS Sulbar.
Saya paham Petugas Karantina Penanganan Covid-19 dibawa naungan atau kendali pihak RS Provinsi, namun perlu kita tau yang melakukan rekrutmen adalah Dinas Kesehatan dalam hal ini melalui seksi Sumber Daya Manusia Kesehatan sebagai penanggungjawab, dan mestinya ini dibicarakan dulu serta apa salahnya jika kita duduk bersama agar kita tau bersama letak masalahnya sehingga harus diganti,” ungkap Muhammad Jafar melalui via WhatsApp beberapa hari yang lalu.
Dari informasi yang diterima, kata Muhammad Jafar, gaji Perawat Covid-19 yang diberhentikan belum dibayarkan secara keseluruhan karena berkas atau administrasi dari manajemen rumah sakit belum rampung untuk diberikan ke tim verifikator.
“Sampai hari ini kami belum tau masalahnya apa, sehingga harus diberhentikan. Bahkan saya dapat informasi bahwa gajinya belum terbayarkan secara keseluruhan karena berkas atau administrasi dari manajemen rumah sakit yang belum rampung untuk diberikan ke tim verifikator,” tutupnya.
Hingga berita ini diterbitkan belum ada tanggapan langsung dari Direktur Rumah Sakit Regional Sulbar. Mediaekspres.id masih berusaha mengkonfirmasi.
Reporter: Tompo
Editor: Mediaekspres.id
Kata bijak: “Ketidakadilan sosial. Jadi kalau keadilan tidak dijamin, siapa saja bisa mengacau.”
Comment